Artikel Pendidikan

Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah
Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah
Oleh : Sri Damayanti*)


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala limpahan rahmat dan pertolongan-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berisikan tentang Perencanaan Lokasi Pabrik. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Seminar Ilmu Manajemen.
Dalam menyelesaikan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini izinkan penyusun untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Uhar Suharsaputra M.Pd, selaku Dosen dan Bapak Akhmad Sudrajat selaku Asisten Dosen Mata Kuliah Seminar Ilmu Manajemen, kiranya Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyajian makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan guna.perbaikan penulisan selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun, umumnya bagi pembaca.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena pendidikan salah satu penentu mutu Sumber Daya Manusia. Dimana dewasa ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan melimpahnya kekayaan alam, melainkan pada keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM). Dimana mutu Sember Daya Manusia (SDM) berkorelasi positif dengan mutu pendidikan, mutu pendidikan sering diindikasikan dengan kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang harus terdapat dalam pendidikan, komponen-komponen tersebut adalah masukan, proses, keluaran, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana serta biaya.
Mutu pendidikan tercapai apabila masukan, proses, keluaran, guru, sarana dan prasarana serta biaya apabila seluruh komponen tersebut memenuhi syarat tertentu. Namun dari beberapa komponen tersebut yang lebih banyak berperan adalah tenaga kependidikan yang bermutu yaitu yang mampu menjawab tantangan-tantangan dengan cepat dan tanggung jawab. Tenaga kependidikan pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut tenaga kependidikan untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Pendidikan yang bermutu sangat membutuhkan tenaga kependidikan yang professional.
Tenaga kependidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan pengetahuan, ketrampilan, dan karakter peserta didik. Oleh karena itu tenaga kependidikan yang professional akan melaksanakan tugasnya secara professional sehingga menghasilkan tamatan yang lebih bermutu. Menjadi tenaga kependidikan yang profesional tidak akan terwujud begitu saja tanpa adanya upaya untuk meningkatkannya, adapun salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan pengembangan profesionalisme ini membutuhkan dukungan dari pihak yang mempunyai peran penting dalam hal ini adalah kepala sekolah, dimana kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang sangat penting karena kepala sekolah berhubungan langsung dengan pelaksanaan program pendidikan di sekolah.
Ketercapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah satu pemimpin pendidikan. Karena kepala sekolah merupakan seorang pejabat yang profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber organisasi dan bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan keprofesionalan kepala sekolah ini pengembangan profesionalisme tenaga kependidikan mudah dilakukan karena sesuai dengan fungsinya, kepala sekolah memahami kebutuhan sekolah yang ia pimpin sehingga kompetensi guru tidak hanya mandeg pada kompetensi yang ia miliki sebelumnya, melainkan bertambah dan berkembang dengan baik sehingga profesionalisme guru akan terwujud.
Karena tenaga kependidikan profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, dan metode yang tepat, akan tetapi mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Profesionalisme tenaga kependidikan juga secara konsinten menjadi salah satu faktor terpenting dari mutu pendidikan. Tenaga kependidikan yang profesional mampu membelajarkan murid secara efektif sesuai dengan kendala sumber daya dan lingkungan. Namun, untuk menghasilkan guru yang profesional juga bukanlah tugas yang mudah. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya.
Namun banyak faktor penghambat tercapainya kualitas keprofesionalan kepemimpinan kepala sekolah seperti proses pengangkatannya tidak trasnparan, rendahnya mental kepala sekolah yang ditandai dengan kurangnya motivasi dan semangat serta kurangnya disiplin dalam melakukan tugas, dan seringnya datang terlambat, wawasan kepala sekolah yang masih sempit , serta banyak faktor penghambat lainnya yang menghambat tumbuhnya kepala sekolah yang professional untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ini mengimplikasikan rendahnya produktivitas kerja kepala sekolah yang berimplikasi juga pada mutu (input, proses, dan output)
Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengkaji “Profesionalisme Pepemimpinan Kepala Sekolah”

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah
2. Untuk mengetahui bagaimana tugas yang dijalankan oleh kepala sekolah
3. Untuk memahami peran kepala sekolah
4. Untuk mengaetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam merealisasikan keprofesionalan kepala sekolah
5. Untuk mengetahui dan memahami upaya pemecahan dalam merealisasikan peningkatan profesionalisme kepala sekolah.

C. Manfaat Penelitian
1. Dapat mengetahui bagaimana gambaran profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah
2. Dapat mengetahui bagaimana tugas yang dijalanka oleh kepala sekolah
3. Dapat memahami peran kepala sekolah
4. Dapat mengaetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam merealisasikan keprofesionalan kepala sekolah
5. Dapat mengetahui dan memahami upaya pemecahan dalam merealisasikan peningkatan profesionalisme kepala sekolah.

BAB II
PROFESIONALISME KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

Paradigma baru manajemen pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas secara efektif dan efisien, perlu didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam hal ini, pengembangan SDM merupakan proses peningkatan kemampuan manusia agar mampu melakukan pilihan-pilahan. Proses pengembangan SDM tersebut harus menyentuh berbagai bidang kehidupan yang tercermin dalam pribadi pimpinan, termasuk pemimpin pendidikan, seperti kepala sekolah.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 bahwa: “Kepala sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pememliharaan sarana dan prasarana”.
Namun kenyataan dilapangan masih banyak kepala sekolah yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin pendidikan ini disebabkan karena dalam proses pengangkatannya tidak ada trasnfaransi, rendahnya mental kepala sekolah yang ditandai dengan kurangnya motivasi dan semangat serta kurangnya disiplin dalam melakukan tugas, dan seringnya datang terlambat serta banyak faktor penghambat lainnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mengimplikasikan rendahnya produktivitas kerja kepala sekolah yang berimplikasi juga pada mutu (input, proses, dan output)
Berdasarkan uraian di atas penyusun sangat tertarik untuk membahas profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah. Untuk mempermudah dalam pemahaman pemabahasan ini, berikut penyusun sajikan kerangka teoritisnya.

A. Pengertian Profesionalisme, Kepemimpinan, dan Kepala Sekolah
1. Profesionalisme
Kusnandar (2007:46) mengemukakan bahwa “Profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian sesseorang”. Selanjutnya Profesionalisme menurut Mohamad Surya (2007:214) adalah: Sebutan yang mengacu pada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota asuatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionlanya. Sementara Sudarwan Danin (2002:23) mendefinisikan bahwa: “Profesionalisme adalah komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengmbangkan strategi-strategi yang digunakanny dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu Kemudian Freidson (1970) dalam Syaiful Sagala (2005:199) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah “sebagai komitmen untuk ide-ide professional dan karir”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah suatu bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar kualitas keprofesionalannya dapat tercapai secara berkesinambungan.

2. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu organisai karena sebagian besar keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh kepemimpinan dalam organisasi tersebut. Pentingnya kepemimipinan seperti yang dikemukakan oleh James M. Black pada Manajemem: a Guide to Executive Command dalam Sadili Samsudin (2006:287) yang dimaksud dengan “Kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan dan menggerakkan orang lain agar mau bekerja sama di bawah kepemimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu”.
Sementara R. Soekarto Indrafachrudi (2006:2) mengartikan “Kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok sedemikian rupa sehingga tercapailah tujuan itu”. Kemudian menurut Maman Ukas (2004:268) “Kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi orang lain, agar ia mau berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian suatu maksud dan tujuan”. Sedangkan George R. Terry dalam Miftah Thoha (2003:5) mengartikan bahwa “Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi”.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mempangaruhi orang lain untuk mau bekerja sama agar mau melakukan tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuan bersama.

3. Kepala Sekolah
Kepala sekolah bersal dari dua kata yaitu “Kepala” dan “Sekolah” kata kepala dapat diartikan ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga. Sedang sekolah adalah sebuah lembaga di mana menjadi tempat menerima dan memberi pelejaran. Jadi secara umum kepala sekolah dapat diartikan pemimpin sekolah atau suatu lembaga di mana temapat menerima dan memberi pelajaran. Wahjosumidjo (2002:83) mengartikan bahwa: “Kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. Sementara Rahman dkk (2006:106) mengungkapkan bahwa “Kepala sekolah adalah seorang guru (jabatan fungsional) yang diangkat untuk menduduki jabatan structural (kepala sekolah) di sekolah”.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah adalah sorang guru yang mempunyai kemampuan untuk memimpin segala sumber daya yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan bersama.
Jadi profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah berarti suatu bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar kualitas keprofesionalannya dalam menjalankan dan memimpin segala sumber daya ayang ada pada suatu sekolah untuk mau bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama.

B. Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk itu kepala sekolah harus mengetahui tugas-tugas yang harus ia laksankan. Adapun tugas-tugas dari kepala sekolah seperti yang dikemukakan Wahjosumidjo (2002:97) adalah:
1. Kepala sekolah bekerja dengan dan melalui orang lain.
2. Kepala sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan sekolah.
3. Kepala sekolah bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan. Kepala sekola bertindak dan bertanggungjawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh bawahan. Perbuatan yang dilakukan oleh para guru, siswa, staf, dan orang tua siswa tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kepala sekolah
4. Dengan waktu dan sumber yang terbatas seorang kepala sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan.Dengan segala keterbatasan, seorang kepala sekolah harus dapat mengatur pemberian tugas secara cepat serta dapat memprioritaskan bila terjadi konflik antara kepentingan bawahan dengan kepentingan sekolah.
5. Kepala sekolah harus berfikir secara analitik dan konsepsional. Kepala sekolah harus dapat memecahkan persoalan melalui satu analisis, kemudian menyelesaikan persoalan dengan satu solusi yang feasible. Serta harus dapat melihatsetiap tugas sebagai satu keseluruhan yang saling berkaitan.
6. Kepala sekolah adalah seorang mediator atau juru penengah. Dalam lingkungan sekolah sebagai suatu organisasi di dalamnya terdiri dari manusia yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda yang bisa menimbulkan konflik untuk itu kepala sekolah harus jadi penengah dalam konflik tersebut.
7. Kepala sekolah adalah seorang politisi. Kepala sekolah harus dapat membangun hubungan kerja sama melalui pendekatan persuasi dan kesepakatan (compromise). Peran politis kepala sekolah dapat berkembang secara efektif, apabila: (1) dapat dikembangkan prinsip jaringan saling pengertian terhadap kewajiban masing-masing, (2) terbentuknya aliasi atau koalisi, seperti organisasi profesi, OSIS, BP3, dan sebagainya; (3) terciptanya kerjasama (cooperation) dengan berbagai pihak, sehingga aneka macam aktivitas dapat dilaksanakan.
8. Kepala sekolah adalah seorang diplomat. Dalam berbagai macam pertemuan kepala sekolah adalah wakil resmi sekolah yang dipimpinnya.
9. Kepala sekolah mengambil keputusan-keputusan sulit. Tidak ada satu organisasi pun yang berjalan mulus tanpa problem. Demikian pula sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput dari persoalan dn kesulitan-kesulitan. Dan apabila terjadi kesulitan-kesulitan kepala sekolah diharapkan berperan sebagai orang yang dapat menyelesaikan persoalan yang sulit tersebut.
Dalam menjalankan kepemimpinannya, selain harus tahu dan paham tugasnya sebagai pemimpin, yang tak kalah penting dari itu semua seyogyanya kepala sekolah memahami dan mengatahui perannya. Adapun peran-peran kepala sekolah yang menjalankan peranannya sebagai manajer seperti yang diungkapkan oleh Wahjosumidjo (2002:90) adalah: (a)Peranan hubungan antar perseorangan; (b) Peranan informasional; (c) Sebagai pengambil keputusan.
Dari tiga peranan kepala sekolah sebagai manajer tersebut, dapat penulis uraikan sebagai berikut:
a. Peranan hubungan antar perseorangan
• Figurehead, figurehead berarti lambang dengan pengertian sebagai kepala sekolah sebagai lambang sekolah.
• Kepemimpinan (Leadership). Kepala sekolah adalah pemimpin untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang ada di sekolah sehingga dapat melahirkan etos kerja dan peoduktivitas yang tinggi untuk mencapai tujuan.
• Penghubung (liasion). Kepala sekolah menjadi penghubung antara kepentingan kepala sekolah dengan kepentingan lingkungan di luar sekolah. Sedangkan secara internal kepala sekolah menjadi perantara antara guru, staf dan siswa.
b. Peranan informasional
• Sebagai monitor. Kepala sekolah selalu mengadakan pengamatan terhadap lingkungan karena kemungkinan adanya informasi-informasi yang berpengaruh terhadap sekolah.
• Sebagai disseminator. Kepala sekolah bertanggungjawab untuk menyebarluaskan dan memabagi-bagi informasi kepada para guru, staf, dan orang tua murid.
• Spokesman. Kepala sekolah menyabarkan informasi kepada lingkungan di luar yang dianggap perlu.
c. Sebagai pengambil keputusan
• Enterpreneur. Kepala sekolah selalu berusaha memperbaiki penampilan sekolah melalui berbagai macam pemikiran program-program yang baru serta malakukan survey untuk mempelajari berbagai persoalan yang timbul di lingkungan sekolah.
• Orang yang memperhatikan gangguan (Disturbance handler). Kepala sekolah harus mampu mengantisipasi gangguan yang timbul dengan memperhatikan situasi dan ketepatan keputusan yang diambil.
• Orang yang menyediakan segala sumber (A Resource Allocater). Kepala sekolah bertanggungjawab untuk menentukan dan meneliti siapa yang akan memperoleh atau menerima sumber-sumber yang disediakan dan dibagikan.
• A negotiator roles. Kepala sekolah harus mampu untuk mengadakan pembicaraan dan musyawarah dengan pihak luar dalam memnuhi kebutuhan sekolah.
Seperti halnya diungkapkan di muka, banyak faktor penghambat tercapainya kualitas keprofesionalan kepemimpinan kepala sekolah seperti proses pengangkatannya tidak trasnparan, rendahnya mental kepala sekolah yang ditandai dengan kurangnya motivasi dan semangat serta kurangnya disiplin dalam melakukan tugas, dan seringnya datang terlambat, wawasan kepala sekolah yang masih sempit , serta banyak faktor penghambat lainnya yang menghambat tumbuhnya kepala sekolah yang professional untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ini mengimplikasikan rendahnya produktivitas kerja kepala sekolah yang berimplikasi juga pada mutu (input, proses, dan output).
Berdasarkan masalah-masalah tersebut, adapun pemecahannya adalah:
1. Pembinaan kemampuan profesional kepala sekolah
Wadah-wadah yang telah dikembangkan dalam pembinaan kemampuan profesional kepala sekolah adalah musyawarah kepala sekolah (MKS) , kelompok kerja kepala sekolah (KKKS), pusat kegiatan kepala sekolah (PKKS). Disamping itu peningkatan dapat dilakukan melalui pendidikan, dengan program sarjana atau pasca sarjana bagi para kepala sekolah sesuai dengan bidang kehaliannya, sehingga tidak terlepas dari koridor disiplin ilmu masing-masing.
2. Revitalisasi KKG dan MKKS di sekolah
Melalui KKG dan MKKS dapat dipikirkan bagaimana menyiasati kurikulum yang padat dan mencari alternatif pembelajaran yang tepat serta menemukan berbagai variasi metoda dan variasi media untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Dengan mengefektifkan KKG dan MKKS semua kesulitan dan permasalahan yang dihadapi oleh guru dan kepala sekolah dalam kegiatan pendidikan dapat dipecahkan, dan diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
3. Peningkatan disiplin
Dalam menumbuhkan kepala sekolah profesional dalam paradigma baru manajemen pandidikan di sekolah diperlukan adanya peningkatan disiplin untuk menciptakan iklim sekolah yang lebih kondusif dan dapat memotivasi kerja, serta menciptakan budaya kerja dan budaya disiplin para tenaga kependidikan dalam melakukan tugasnya di sekolah.
4. Pembentukan kelompok diskusi profesi
Kelompok diskusi profesi dapat dibentuk untuk mengatasi tenaga kependidikan yang kurang semangat dalam melakukan tugas-tugas kependidikan di sekolah yang melibatkan pengawas sekolah, komite sekolah atau orang lain yang ahli dalam memecahkan masalah yang dihadapi kepala sekolah dan tenaga kependidikan.
5. Peningkatan layanan perpustakaan dan penambahan koleksi
Salah satu sarana peningkatan profesionalisme kepala sekolah adalah tersedianya buku yang dapat menunjang kegiatan sekolah dalam mendorong visi menjadi aksi. Karena akan sangat sulit dapat mengembangkan dan meningkatkan profesionalisme kepala sekolah jika tidak ditunjangkan oleh sumber belajar yang memadai.
Selain itu kepala sekolah harus memiliki visi dan misi, serta strategi manajemen pendidikan secara utuh yang berorientasi kepada mutu. Strategi ini dikenal dengan manajemen mutu terpadu (MMT) atau kalau dunia bisnis dikenal dengan nama total quality management (TQM). Yang merupakan usaha sistematis dan terkoordinasi untuk secara terus-menerus memperbaiki kualitas layanan.
Sedikitnya terdapat lima sifat layanan yang harus diwujudkan oleh kepala sekolah agar “pelanggan” puas; yakni layanan sesuai dengan yang dijanjikan (reliability), mampu menajmin kualitas pembelajaran (assurance), iklim sekolah yang kondusif (tangible), memberikan perhatian penuh kepada peserta didik (emphaty), dan cepat tanggap terhadap kebutuhan peserta didik (responsiveness)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kepala sekolah merupakan peimipin formal yang tidak bisa diisi oleh orang-orang tanpa didasarkan atas pertimbangan tertentu. Untuk itu kepal sekolah bertangggung jawab melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan baik yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan maupun dalam mencipatakan iklim sekolah yang kondusif yang menumbuhnkan semangat tenaga pendidik maupun peserta didik. Dengan kepemimpinan kepala sekolah inilah, kepala sekolah diharapakan dapat memberikan dorongan serta memberikan kemudahan untuk kemajuan serta dapat memberikan inspirasi dalam proses pencapaian tujuan.
Kepala sekolah diangkat melalui prosedur serta persyaratan tertentu yang bertanggung jawab atas tercapainya tujuan pendidikan melalui upaya peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan yang mengimplikasikan meningkatkanya prestasi belajar peserta didik. Kepala sekolah yang professional akan berfikir untuk membuat perubahan tidak lagi berfikir bagaimana suatu perubahan sebagaimana adanya sehingga tidak terlindas oleh perubahan tersebut. Untuk mewujudkan kepala sekolah yang professional tidak semudah memabalikkan telapak tangan, semua itu butuh proses yang panjang.
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang diterapkan dunia pendidikan, sehingga menuntut penguasaan kepala sekolah secara professional. Untuk itu kepala sekolah dihadapkan pada tantangan untuk melasnakan pengembangan pendidikan secara terarah dan berkesinambungan.
Peningkatan profesionalisme kepala sekolah perlu dilaksankan secara berkeinambungan dan terncana dengan melihat permaslahan-permasalahan dan keterbatasan yang ada. Sebab kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang juga bertanggung jawab dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan lainnya. Kepala sekolah yang professional akan mengetahui kabutuhan dunia pendidikan, dengan begitu kepala sekolah akan melakukan penyesuian-penyesuian agar pendidikan berkembang dan maju sesuai dengan kebutuhan pembangunan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

B. Peningkatan profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah harus dilakukan melalui suatu strategi dan saran
Melalui strategi perbaikan mutu inilah diharapkan dapat mengatasi masalah rendahnya pendidikan mutu pendidikan yang mengoptimalkan segala sumber daya yang terdapat di sekolah.
Upaya peningkatan profesionalisme kepala sekolah merupakan proses keseluruhan dan organisasi sekolah serta harus dilakukan secara berkesinambungan karena peubahan yang terjadi selalu dinamis serta tidak bisa diprediksi sehingga kepala sekolah maupun tenaga kependidikan harus selalu siap dihadapkan pada kondisi perubahan. Ada istilah seorang tenaga pendidik yang tadinya professional belum tentu akan terus professional bergitupun sebaliknya, tenaga kependidikan yang tadinya tidak professional belum tentu akan selamanya tidak professional. Dari pernyataan itu jelas kalau perubahan akan selalu terjadi dan menuntut adanya penyasuaian sehingga kita dapat mengatasi perubahan tersebut dengan penuh persiapan.
Dalam upaya peningkatan mutu sekolah dan profesionalisme kepala sekolah harus ada pihak yang berperan dalam peningkatan mutu tersebut. Dan yang berperan dalam peningkatan profesionalisme kepala sekolah adalah pengawas sekolah yang juga merupakan pemimpin pendidikan yang bersama-sama kepala sekolah memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan sekolah.
Upaya peningkatan keprofesionalan kepala sekolah tidak akan terwujud begitu tanpa adanya motivasi dan adanya kesadaran dalam diri kepala sekolah tersebut serta semangat mengabdi yang akan melahirkan visi kelembagaan maupun kemampuan konsepsional yang jelas. Dan ini merupakan faktor yang paling penting sebab tanapa adanya kesadaran dan motivasi semangat mengabdi inilah semua usaha yang dilakukan untuk meningkatkan keprofesionalannya hasilnya tidak akan maksimal dan perealisasiannyapun tidak akan optimal. Berdasarkan hal itu kepala sekolah harus memiliki

DAFTAR PUSTAKA

E. Mulyasa. 2006. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Kusnandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo

Maman Ukas. 2004. Manajemen. Bandung: Agini

Muhammad Surya. Organisasi profesi, kode etik dan Dewan Kehormatan Guru.

Miftah Toha, 2003. Kepemimpinan dalam Manajemen, Jakarta: PT Raja Grafindo.

Rahman (at all). 2006. Peran Strategis Kapala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jatinangor: Alqaprint.

Sadili Samsudin.2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: CV Pustaka Setia
Soekarto Indarafachrudi. 2006. Bagaimana Memimpin Sekolah yang efektif. Bogor: Ghalia Indonesia

Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kepandidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.

Syaiful Sagala. 2002. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung : Alfabeta CV

Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada





KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

Dalam era desentralisasi seperti saat ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, praksis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Manajemen sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management (manajemen berbasis sekolah/MBS).
Dalam konteks MBS, sekolah harus meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaannya guna meningkatkan kualitas dan efisiensinya. Meskipun demikian, otonomi pendidikan dalam konteks MBS harus dilakukan dengan selalu mengacu pada akuntabilitas terhadap masyarakat, orangtua, siswa, maupun pemerintah pusat dan daerah.
Agar desentralisasi dan otonomi pendidikan berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional, sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) pengarahan; dan (4) pengawasan.
Dari segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional (Luthans, 1995: 358) adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan.
Dalam era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung.
Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan, antara lain, sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan NEM (nilai ebtanas murni-Red) secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaruan dan inovasi.
Keadaan ini pernah dialami oleh penulis ketika harus melakukan diseminasi classroom action research di sekolah-sekolah. Kepala sekolah yang mengadopsi kepemimpinan instruksi-otoritarian tidak selalu bisa memberi peluang kepada penulis untuk mengajak para guru melakukan classroom action research di kelasnya, dengan alasan kegiatan penelitian kelas itu akan mengganggu pencapaian target kurikulum yang telah dicanangkan oleh pusat.
Di sisi guru, sebenarnya sangat mendambakan untuk selalu meningkatkan profesionalisme secara berkelanjutan melalui classroom action research. Sebab mereka sebenarnya mengerti, dengan melakukan penelitian itu para guru akan mampu melakukan refleksi terhadap praktik pembelajaran yang selama ini dilakukannya. Para guru telah dilatih berhari-hari mengenai cara-cara melakukan classroom action research. Tetapi, gara-gara ada kepala sekolah tidak reseptif terhadap inovasi, akhirnya guru harus puas dengan praktik yang bertahun-tahun dilakukan dan dianggap telah baik tanpa ada sistem feedback yang diperolehnya dari penelitian tindakan kelas.
Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan partisipatif-transformasional memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses belajar-mengajar di sekolahnya, dan dengan demikian sangat senang jika guru melaksanakan classroom action research. Sebab, dengan penelitian kelas itu sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas dunia praktik profesional. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya solusi bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan oleh karena itu mereka dapat selalu meningkatkannya secara berkelanjutan.
Agar proses inovasi di sekolah dapat berjalan dengan baik, kepala sekolah perlu dan harus bertindak sebagai pemimpin (leader) dan bukan bertindak sebagai bos. Ada perbedaan di antara keduanya.
Oleh karena itu, seyogianya kepemimpinan kepala sekolah harus menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yang hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga harus menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan pada kerja sama kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, dan sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru percaya diri.
Kepala sekolah juga harus menghindarkan diri dari wacana retorika, sebaliknya perlu membuktikan memiliki kemampuan kerja profesional; serta menghindarkan diri agar tidak menyebabkan pekerjaan guru menjadi membosankan.



STANDAR KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH
Oleh : Agus Dharma
(Pusdiklat Pegawai Depdiknas)


A. PENGANTAR
Pada tingkat paling operasional, kepala sekolah adalah orang yang berada di garis terdepan yang mengkoordinasikan upaya meningkatkan pembelajaran yang bermutu. Kepala sekolah diangkat untuk menduduki jabatan yang bertanggung gugat mengkoordi-nasikan upaya bersama mencapai tujuan pendidikan pada level sekolah masing-masing. Dalam praktik di Indonesia, kepala sekolah adalah guru senior yang dipandang memiliki kualifikasi menduduki jabatan itu. Tidak pernah ada orang yang bukan guru diangkat menjadi kepala sekolah. Jadi, seorang guru dapat berharap bahwa jika "beruntung" suatu saat kariernya akan berujung pada jabatan kepala sekolah. Biasanya guru yang dipandang baik dan cakap sebagai guru diangkat menjadi kepala sekolah. Dalam kenyataan, banyak di antaranya yang tadinya berkinerja sangat bagus sebagai guru, menjadi tumpul setelah menjadi kepala sekolah. Umumnya mereka tidak cocok untuk mengemban tanggung jawab manajerial. Ingat salah satu prinsip Peter tentang inkompetensi? Orang-orang seperti ini telah terjerembab di puncak inkompetensinya dan akan tetap di situ hingga pensiun. Bayangkan nasib sekolah jika dipimpin oleh seseorang yang tidak lagi kompeten.
Setidaknya di Indonesia saat ini, secara finansial jabatan itu sebenarnya tidak pula memberi janji resmi bagi kehidupan yang jauh lebih layak dibandingkan para guru lainnya. Sedikit sekali fasilitas yang disediakan bagi pengemban tanggung jawab sebesar itu. Jangan bandingkan gaji kepala sekolah di negeri ini dengan gaji rata-rata kepala sekolah di negara yang sudah maju. Bagi mereka yang umumnya berpendapatan cukup besar, kenaikan BBM sampai lima ribu per liter pun tidak akan membuat mereka stress. Namun, sekalipun dengan fasilitas yang sangat minim itu dalam kenyataan para guru di Indonesia (umumnya) tampaknya berlomba-lomba, dan seolah-olah menghalalkan apa saja, untuk dapat diangkat sebagai kepala sekolah. Agaknya, dalam praktik, jabatan kepala sekolah telah memiliki nilai ekonomi yang lebih mengungguli nilai-nilai lainnya, bahkan nilai moral sekalipun. Akibatnya, banyak mereka yang menjabat sebagai kepala sekolah melakukan tindakan memalukan yang mengorbankan kepentingan peserta didik. Sayangnya, contoh yang tidak terpuji dari kepala sekolah ini kemudian menular ke para guru dan staf pendukung lainnya. Ini tentu saja sangat disayangkan karena para pengelola sekolah seyogianya lebih mengutamakan kepentingan pembelajaran peserta didik ketimbang kepentingannya sendiri atau kepentingan-kepentingan lainnya.
Kepala sekolah seharusnya merupakan jabatan yang istimewa. Untuk satu hal saja, jabatan kepala sekolah bukan sekadar jabatan manajer dengan segala macam sebutannya itu. Memang dalam artian sebagai pimpinan sebuah unit kerja, sebenarnya jabatan kepala sekolah tidak berbeda dari jabatan kemanajerialan lainnya. Setidaknya fungsinya sama, yaitu memaksimumkan pendayagunaan sumber daya yang tersedia secara produktif untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bagi unit kerjanya. Dalam kadar tertentu, kepala sekolah sebagai pimpinan sebuah unit kerja, memainkan peran yang sama seperti halnya manajer unit kerja lainnya. Ia harus dapat memastikan bahwa sistem kerjanya berjalan lancar dan semua sumber daya yang diperlukan untuk mencapai hasil harus tersedia secukupnya dengan kualitas yang memadai. Namun, kepala sekolah mengelola sebuah lembaga yang sangat istimewa yaitu sekolah sebagai lembaga formal pendidikan yang akan sangat mewarnai masa depan anggota utamanya, peserta didik.

B. KEPALA SEKOLAH ADALAH PEMIMPIN PENDIDIKAN
Tentu saja kepala sekolah bukan satu-satunya determinan bagi efektif tidaknya suatu sekolah karena masih banyak faktor lain yang perlu diperhitungkan. Ada guru yang dipandang sebagai faktor kunci yang berhadapan langsung dengan para peserta didik dan masih ada lagi sejumlah masukan instrumental dan masukan lingkungan yang mempengaruhi proses pembelajaran. Namun, kepala sekolah memainkan peran yang termasuk sangat menentukan. Misalnya, studi dengan pendekatan sosiologi tentang efektivitas sekolah menengah menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah memainkan peran yang sangat penting (Lightfoot, 1983; lihat juga telaahan mutakhir trends & issues manajemen pendidikan yang dikompilasi dalam ERIC, 2002). Kepala sekolah bukan manajer sebuah unit produksi yang hanya menghasilkan barang mati, seperti manajer pabrik yang menghasilkan sepatu, misalnya. Lebih dari para manajer lainnya, ia adalah pemimpin pendidikan yang bertanggung jawab menciptakan lingkungan belajar yang kondusif yang memungkinkan anggotanya mendayagunakan dan mengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Dalam lingkungan seperti itu, para guru dan peserta didik termotivasi untuk saling belajar, saling memotivasi, dan saling memberdayakan. Suasana seperti itu memberi ruang untuk saling belajar melalui keteladanan, belajar bertanggung jawab, serta belajar mengembangkan kompetensi sepenuhnya, bukan sekadar kompetensi kognitif. Kepala sekolah seharusnya berada di garda paling depan dalam hal peneladanan, pemotivasian, dan pemberdayaan itu. Apakah ini barang baru? Sama sekali tidak karena jauh sebelumnya Ki Hadjar Dewantara telah berujar dengan pernyataannya yang terkenal itu: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani.
Uraian singkat di atas telah menunjukkan betapa tidak ringannya tanggung jawab seseorang sebagai kepala sekolah. Sebenarnya pekerjaan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolahnya tidak pernah ringan. Sudah sekian lama birokrasi pemerintahan negara kita tidak banyak membantu kepala sekolah mengatasi kerumitan itu. Sudah sejak lama pula para kepala sekolah berhadapan dengan situasi di mana mereka lebih banyak tergantung pada konteks dan periferal pekerjaannya. Mereka sering berada pada posisi nirdaya dalam situasi ketika kepemimpinan mereka benar-benar diperlukan. Oleh sebab itu, diperlukan paradigma baru untuk menanggalkan ketergantungan yang selama ini telah memerangkap para kepala sekolah yang sebagian sebenarnya mungkin telah bekerja dengan serius. Manajemen berbasis sekolah (MBS) dipandang banyak pihak dapat memberi ruang gerak lebih longgar bagi kepala sekolah untuk meningkatkan mutu sekolahnya. Konsepnya bagus karena MBS adalah strategi untuk meningkatkan kem andirian para pengelola pendidikan dengan memindahkan wewenang pengambilan keputusan penting dari pemerintah pusat dan daerah ke level paling operasional, yaitu sekolah. Hasilnya masih belum jelas karena penerapannya ternyata juga masih harus menunggu kerelaan birokrasi pendidikan (daerah dan pusat) untuk mendelegasikan powernya.

C. KUALITAS PEMIMPIN PENDIDIKAN
Setiap jabatan menggambarkan status yang diemban pemegangnya. Status itu, pada gilirannya, menunjukkan peran yang harus dilakukan pejabatnya. Peran utama yang harus diemban oleh kepala sekolah yang membedakannya dari jabatan-jabatan kepala lainnya adalah peran sebagai pemimpin pendidikan. Kepemimpinan pendidikan mengacu pada kualitas tertentu yang harus dimiliki kepala sekolah untuk dapat mengemban tanggung jawabnya secara berhasil. Apa saja kualitas itu? Pertama, kepala sekolah harus tahu persis apa yang ingin dicapainya (visi) dan bagaimana mencapainya (misi). Kedua, kepala sekolah harus memiliki sejumlah kompetensi untuk melaksanakan misi guna mewujudkan visi itu. Dan ketiga, kepala sekolah harus memiliki karakter tertentu yang menunjukkan integritasnya.

1. Visi dan Misi
Barangkali tidak banyak kepala sekolah yang tahu persis apa visi sekolah mereka dan bagaimana caranya mewujudkan visi itu. Bahkan barangkali pula tidak banyak yang memahami benar arti visi dan misi. Hal yang sama kemungkinan besar berlaku bagi para pejabat dalam jabatan-jabatan pimpinan lainnya. Kepala sekolah yang bertanggung jawab berusaha mengetahui visi sekolahnya. Jika belum ada, mereka akan berusaha merumuskannya dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Visi itu kemudian disosialisasikan sehingga menjadi cita-cita bersama. Selanjutnya ia akan berusaha secara konsisten untuk terus berupaya menggalang komitmen untuk mewujudkan visi itu. Ia tidak akan berdiam diri membiarkan visi itu menjadi rumusan indah yang menghiasi dinding kantornya.


2. Kompetensi
Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan seseorang ketika melakukan sesuatu. Memahami visi dan misi serta memiliki integritas yang baik saja belum cukup. Agar berhasil, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik dan benar. Apa saja kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah? Setidaknya ada kesepakatan bahwa kepala sekolah perlu memiliki sejumlah kompetensi berikut (diadaptasi dari CCSSO, 2002).
b. Memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah.
c. Membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan staf.
d. Menjamin bahwa manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif.
e. Bekerja sama dengan orang tua murid dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat.
f. Memberi contoh (teladan) tindakan berintegritas.
g. Memahami, menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.
3. Integritas
Integritas adalah ketaatan pada nilai-nilai moral dan etika yang diyakini seseorang dan membentuk perilakunya sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat. Ada ungkapan yang bagus untuk memahami pengertian integritas: integritas Anda tidak diukur dari kemampuan Anda menaklukkan puncak gunung, tetapi diri Anda sendiri. Setidaknya ada sejumlah ciri yang menggambarkan integritas kepala sekolah: dapat dipercaya, konsisten, komit, bertanggung jawab, dan secara emosional terkendali.
a. Dapat dipercaya (amanah). Seorang kepala sekolah haruslah orang yang dapat dipercaya. Kepercayaan itu diperolehnya secara sukarela, tidak dengan meminta apalagi memaksa orang lain untuk mempercayainya. Kepala sekolah tidak perlu berpidato di depan para guru, murid, atau orang tua murid bahwa ia adalah orang yang dapat dipercaya. Perilakunya sehari-hari telah menyampaikan informasi yang akurat tentang keamanahan itu. Kepala sekolah yang dapat dipercaya memiliki kejujuran yang tidak diragukan.
b. Konsisten. Kepala sekolah yang konsisten dapat diandalkan. Kepala sekolah seperti ini tidak mencla-mencle, perbuatannya taat asas dengan perkataannya. Kepala sekolah seperti ini tidak bermuka banyak. Ia mengoperasionalkan kebijakan pendidikan secara tegas dan bijaksana, dan tidak perlu menjadi anggota bunglon sosial untuk mengamankan kebijakan itu.
c. Komit. Kepala sekolah yang komit, terikat secara emosional dan intelektual untuk mengabdikan diri sepenuhnya bagi kepentingan anak didiknya. Kepala sekolah seperti ini tahu persis bahwa tanggung jawabnya tidak mungkin dapat dipikulnya setengah-setengah. Pekerjaan sebagai kepala sekolah baginya bukan pekerjaan paruh waktu. Ia tidak boleh merangkap-rangkap pekerjaannya dengan pekerjaan lain, atau menjadi kepala sekolah di lebih dari satu tempat.
d. Bertanggung jawab. Kepala sekolah memiliki kewajiban sosial, hukum, dan moral dalam menjalankan perannya. Kepala sekolah yang berintegritas tidak akan menghindar apalagi lari dari tanggung jawabnya. Kepala sekolah yang mengutamakan kepentingan anak didiknya sadar betul bahwa secara sosial, hukum, dan moral ia harus berperilaku yang dapat dipertanggungjawabkan.
e. Secara emosional terkendali. Kepala sekolah yang berkecerdasan emosi tinggi sangat menyadari pengaruh emosinya dan emosi orang lain terhadap proses pemikirannya dan interaksinya terhadap orang lain. Kepala sekolah seperti ini mampu mengaitkan emosi dengan penalaran, menggunakan emosi untuk memfasilitasi penalaran dan secara cerdas menalarkan emosi. Dengan kata lain, ia menyadari bahwa kemampuan kognitif seseorang diperkaya dengan emosi dan perlunya emosi dikelola secara kognitif.

D. UKURAN KINERJA SERTA PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN UNTUK BERKINERJA SECARA KOMPETEN
Persoalannya sekarang adalah apa ukuran kinerja yang dapat disimak dari kepala sekolah yang kompeten serta apa saja pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki untuk berkinerja seperti itu? Kita akan membahas hal ini dengan mengacu pada kompetensi yang telah dikemukakan sebelumnya.
Kompetensi 1: Memfasilitasi penyusunan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi dan misi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah.
Kepala sekolah harus dapat memastikan bahwa sekolahnya memiliki visi dan misi yang jelas dan disepakati bersama serta didukung oleh komunitas sekolahnya. Jika visi dan misi itu belum ada, ia harus berinisiatif untuk menyusunnya dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan atas sekolahnya. Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.
a. Visi dan misi disusun bersama-sama dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
b. Staf, keluarga murid, dan anggota masyarakat memahami visi dan misi sekolah.
c. Pihak-pihak berkepentingan yakin bahwa inti visi sekolah dipakai sebagai pedoman bagi semua yang terlibat dalam urusan sekolah.
d. Kontribusi anggota komunitas sekolah dalam pewujudan visi itu dihargai.
e. Pihak-pihak yang berkepentingan menerima informasi tentang kemajuan upaya pencapaian visi sekolah.
f. Komunitas sekolah terlibat aktif dalam upaya peningkatan sekolah.
g. Program, rencana, dan kegiatan sekolah telah tersusun berdasarkan visi sekolah.
h. Rencana berdasarkan tujuan dan strategi yang jelas dilaksanakan.
i. Data penilaian pembelajaran peserta didik digunakan untuk menyusun visi dan tujuan sekolah.
j. Data demografik murid dan keluarganya digunakan untuk menyusun misi dan tujuan sekolah.
k. Hambatan pencapaian visi dapat ditanggulangi.
l. Pengadaan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung implementasi misi dan tujuan sekolah telah diupayakan.
m. Sumber daya yang ada untuk mendukung visi dan tujuan telah digunakan dengan efektif dan efisien.
n. Visi, misi, dan rencana telah dipantau, dievaluasi, dan direvisi secara teratur.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
a. Tujuan belajar dalam masyarakat yang pluralistik.
b. Teknik penyusunan dan penerapan rencana stratejik.
c. Teori dan pemikiran sistem.
d. Teknik pengumpulan, pengolahan, dan analisis data.
e. Komunikasi yang efektif.
f. Konsensus dan negosiasi yang efektif.
Kompetensi 2: Membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan staf.
Kepala sekolah harus dapat memastikan adanya lingkungan sekolah yang kondusif. Sekadar mengingatkan, lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan orang-orang di dalamnya untuk mendayagunakan dan mengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Kepala sekolah misalnya harus berupaya keras agar masalah-masalah sosial, seperti penyalahgunaan narkoba, tidak mengimbas ke dalam lingkungan sekolahnya. Dalam lingkungan seperti itu, para guru dan peserta didik termotivasi untuk saling belajar, saling memotivasi, dan saling memberdayakan. Suasana seperti memberi ruang untuk saling belajar melalui keteladanan, belajar bertanggung jawab, serta belajar mengembangkan kompetensi sepenuhnya.
Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.
a. Semua orang diperlakukan secara adil, setara, berharkat, dan bermartabat.
b. Pengembangan profesional terfokus pada pembelajaran peserta didik sesuai dengan visi dan tujuan sekolah.
c. Peserta didik dan staf sekolah dihargai dan dipandang penting.
d. Hambatan belajar diidentifikasi, diklarifikasi, dan ditanggulangi.
e. Keberagaman dalam pengembangan pengalaman belajar disimak dan dipertimbangkan.
f. Belajar seumur hidup didorong dan diberi contoh.
g. Terbangunnya budaya harapan tinggi bagi kinerja diri sendiri, peserta didik, dan staf.
h. Digunakannya teknologi dalam proses pembelajaran.
i. Prestasi peserta didik dan staf diakui dan dirayakan.
j. Tersedianya kesempatan beragam untuk belajar bagi semua peserta didik.
k. Sekolah ditata dan diarahkan untuk mencapai keberhasilan peserta didik.
l. Program kurikulum, ko-kurikulum, dan ekstra-kurikulum dirancang,
m. dilaksanakan, dan disempurnakan secara berkala.
n. Hasil riset, pendapat guru, dan rekomendasi dari anggota masyarakat terpelajar digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan penting.
o. Budaya sekolah dievaluasi secara teratur.
p. Hasil belajar peserta didik dinilai dengan menggunakan berbagai teknik.
q. Staf dan peserta didik diberi peluang menggunakan berbagai sumber informasi tentang prestasi.
r. Berbagai cara supervisi dan evaluasi dimanfaatkan.
s. Tersusunnya program-program untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan keluarganya.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
a. Psikologi perkembangan peserta didik.
b. Teori belajar terapan.
c. Teori motivasi terapan.
d. Desain, evaluasi, dan penyempurnaan kurikulum.
e. Prinsip-prinsip pengajaran yang efektif.
f. Teknik-teknik evaluasi belajar.
g. Keberagaman dan artinya bagi program pendidikan.
h. Model-model belajar dan pengembangan professional orang dewasa.
i. Proses perubahan bagi sistem, organisasi, dan individu.
j. Peranan teknologi dalam membantu proses belajar peserta didik dan pertumbuhan professional.
k. Budaya sekolah.
Kompetensi 3 : Menjamin bahwa manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif.
Kepala sekolah harus dapat memastikan bahwa apapun prinsip-prinsip dan teknik manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah yang diterapkan semata-mata digunakan bagi kepentingan peserta didik. Ia harus dapat menjamin bahwa lingkungan fisik sekolahnya aman dan sehat bagi peserta didik, guru, dan staf pendukung lainnya.
Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.
a. Pengetahuan tentang pembelajaran, pengajaran, dan perkembangan peserta didik digunakan dalam keputusan manajemen sekolah.
b. Prosedur operasional digunakan dan dikelola untuk memaksimumkan peluang keberhasilan belajar. . Diterapkannya teknik baru yang menguntungkan.
c. Tersusunnya dengan baik rencana dan prosedur operasional untuk mencapai visi dan tujuan sekolah.
d. Kesepakatan kontrak sekolah dikelola secara efektif.
e. Bangunan dan semua fasilitas sekolah diperasikan secara aman, efisien, dan
f. efektif. Waktu dikelola untuk memaksimumkan pencapaian tujuan organisasi.
g. Teridentifikasinya masalah dan peluang potensial.
. Setiap masalah ditanggulangi secara tepat waktu.
. Sumber daya manusia dan sumber daya lainnya dikelola untuk mencapai tujuan sekolah.
. Sistem organisasi dipantau dan dimodifikasi secara teratur sesuai dengan kebutuhan.
. Pihak-pihak berkepentingan dilibatkan dalam keputusan yang mempengaruhi sekolah.
. Tanggung jawab dibagi-bagi untuk memasimumkan akuntabilitas.
. Diterapkannya perangkaan masalah yang efektif dan keterampilan pemecahan masalah.
. Diterapkannya keterampilan solusi konflik secara efektif.
. Diterapkannya proses kelompok yang efektif dan keterampilan pencapaian konsensus.
. Terpeliharanya lingkungan sekolah yang aman, bersih, indah, dan menyenangkan.
. Fungsi-fungsi sumber daya manusia dijamin untuk mendukung pencapaian tujuan sekolah.
. Terpeliharanya kerahasiaan dokumen sekolah.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
. Prinsip-prinsip pengembangan organisasi.
. Prosedur operasi di tingkat sekolah dan daerah.
. Prinsip-prinsip dan isu tentang keamanan dan kesehatan lingkungan sekolah.
. Manajemen sumber daya manusia.
. Prinsip-prinsip penggunaan keuangan manajemen sekolah.
. Prinsip-prinsip penggunaan fasilitas sekolah.
. Aspek hukum pengoperasian sekolah.
. Teknologi mutakhir yang mendukung fungsi-fungsi manajemen.
Kompetensi 4: Bekerja sama dengan orang tua murid dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat.

Kepala sekolah harus menyadari bahwa tujuan sekolah tidak mungkin dicapai tanpa melibatkan semua pihak yang berkepentingan, utamanya para orang tua murid. Manajemen sekolah adalah upaya bersama agar hal-hal yang tadinya terasa besar dan berat menjadi lebih terkendali. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Oleh sebab itu, kepala sekolah harus tidak boleh putus harapan untuk menghimbau dan merangkul semua pihak yang berkepentingan demi kemajuan sekolahnya.
Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.
. Diutamakannya kemunculan yang sering, keterlibatan aktif, dan komunikasi dengan masyarakat luas.
. Terbinanya hubungan dengan para pemimpin masyarakat.
. Digunakannya informasi dari keluarga dan masyarakat.
. Terciptanya hubungan dengan organisasi bisnis, agama, politik, dan pemerintah.
. Disikapinya dengan baik orang-orang dan kelompok yang memiliki nilai-nilai dan opini yang mungkin bertentangan.
. Sekolah dan masyarakat diusahakan saling mengisi dalam hal sumber daya.
. Diamankannya sumber daya masyarakat untuik membantu sekolah memecahkan masalah dan mencapai tujuan.
. Terciptanya kemitraan dengan dunia bisnis, lembaga pendidikan lain, kelompok masyarakat di sekitar untuk memperkuat program dukungan pencapaian tujuan sekolah.
. Anggota masyarakat diperlakukan secara sama.
. Diakui dan dihargainya keberagaman.
. Tercipta dan terbinanya hubungan media yang efektif.
. Diadakannya program hubungan masyarakat yang komprehensif.
. Digunakannya sumber daya publik secara tepat dan bijaksana.
. Adanya contoh kolaborasi masyarakat bagi staf.
. Diadakannya kesempatan yang layak bagi staf untuk mengembangkan keterampil-an berkolaborasi.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
. Isu dan trend yang mungkin berdampak pada komunitas sekolah.
. Kondisi dan dinamika komunitas sekolah yang beragam.
. Sumber daya masyarakat.
. Hubungan masyarakat serta strategi dan proses pemasaran.
. Model yang berhasil tentang kemitraan sekolah, keluarga, bisnis, masyarakat, pemerintah, dan pendidikan tinggi.
Kompetensi 5: Memberi contoh (teladan) tindakan berintegritas.
Kepala sekolah pastilah berada dalam posisi yang serba kikuk jika tidak menujukkan kualitas perilaku yang dapat diteladani. Dapat dipercaya, konsisten, komit, bertanggung jawab, dan secara emosional terkendali adalah kualitas yang seharusnya dimiliki para pimpinan. Karakter moral seperti itulah sebenarnya yang memiliki dampak jangka panjang. Kepala sekolah yang hanya mengandalkan kewenangan jabatannya untuk mempengaruhi lingkungan, hanya akan menimba hasil jangka pendek.
Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.
. Diperagakannya kode etik pribadi dan profesional.
. Diperlihatkannya nilai-nilai, keyakinan, dan sikap yang mengilhami munculnya tingkat kinerja yang tinggi.
. Diperlihatkannya contoh prilaku yang dapat diteladani.
. Dipertanggungjawabkannya pelaksanaan kegiatan operasi sekolah.
. Dipertimbangkannya dampak praktik manajerial terhadap orang lain.
. Digunakannya pengaruh jabatan untuk meningkatkan program pendidikan dan bukan untuk kepentingan pribadi.
. Orang lain diperlakukan dengan adil, sederajat, serta berharkat dan bermartabat.
. Hak-hak dan kerahasiaan peserta didik dan staf dilindungi.
. Terlihat adanya apresiasi terhadap dan kepekaan atas adanya keragaman dalam komunitas sekolah.
. Wewenang orang lain diakui dan dihormati.
. Nilai-nilai yang hidup di kalangan komunitas sekolah yang beragam diperiksa dan dipertimbangkan.
. Ditegakkannya integritas dan perilaku yang etis dalam komunitas sekolah.
. Dipenuhinya kewajiban hukum dan perjanjian.
. Dilaksanakannya hukum dan prosedur secara adil dan bijaksana.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
. Tujuan pendidikan dan peran kepemimpinan dalam masyarakat modern.
. Berbagai kerangka dan perspektif tentang etika.
. Nilai-nilai dari komunitas sekolah yang beragam.
. Kode etik profesi.
. Filsafat dan sejarah pendidikan.
Kompetensi 6: Memahami, menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih besar.
Kepala sekolah perlu menyadari bahwa kehidupan di sekolahnya adalah bagian dari lingkungan kehidupan yang lebih luas. Kehidupan lain di luar sekolahnya ikut berpengaruh dalam upayanya mengelola sekolah dengan baik. Berpikir sistem membantunya untuk memahami posisi sekolahnya dalam gambaran yang lebih besar. Sekolahnya sendiri adalah bagian dari subsistem sosial yang terkait dengan sistem politik, ekonomi, dan lain-lainnya.
Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.
. Tampak adanya upaya sungguh-sungguh untuk mempengaruhi lingkungan operasi sekolah bagi kepentingan peserta didik dan keluarganya.
. Terjadinya komunikasi di kalangan komunitas sekolah tentang kecenderungan, isu, dan kemungkinan perubahan dalam lingkungan operasi sekolah.
. Diadakannya dialog terus-menerus dengan wakil-wakil kelompok masyarakat.
. Difungsikannya komunitas sekolah sesuai dengan kebijakan, hukum, dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan pusat.
. Ada upaya mempengaruhi pembentukan kebijakan publik untuk menyediakan pendidikan yang bermutu.
. Dikembangkannya jalur komunikasi dengan para pengambil keputusan di luar komunitas sekolah.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
. Prinsip-prinsip birokrasi pendidikan yang mendasari sistem sekolah Indonesia.
. Peranan pendidikan umum dalam mengembangkan dan memperbarui masyarakat demokratis.
. Hukum yang berkaitan dengan pendidikan dan persekolahan.
. Sistem dan proses politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang mempengaruhi sekolah.
. Model dan strategi perubahan dan resolusi konflik seperti yang diterapkan dalam konteks politik, sosial, budaya, dan ekonomi sekolah.
. Isu-isu dan faktor global yang mempengaruhi proses pembelajaran.
. Dinamika pengembangan dan pendukungan kebijakan dalam sistem politik yang demokratis.
. Pentingnya keragaman dan persamaan dalam masyarakat demokratis.
KEYAKINAN/PENDIRIAN KEPALA SEKOLAH
Kepala sekolah harus memiliki sejumlah keyakinan atau pendirian untuk dapat berkinerja sebagaimana yang dituntut baginya. Misalnya, ia harus yakin bahwa KKN adalah perbuatan tercela yang tidak bertanggung jawab dan merusak. Keyakinan ini yang besumber dari nilai-nilai moral yang dianutnya ikut mewarnai perilakunya dalam mengelola sekolah yang dipimpinnya. Dengan keyakinan itu, misalnya, ia tidak akan memberi kesempatan terjadinya praktik-praktik KKN yang tidak terpuji itu di sekolahnya. Ia tahu persis bahwa perilakunya adalah contoh yang kemungkinan besar akan menular di kalangan bawahannya dan bahkan para murid. Berikut adalah keyakinan/pendirian yang harus dimiliki kepala sekolah untuk dapat berkinerja sebagaimana yang diharapkan.
. Kepala sekolah yakin bahwa bekerja adalah ibadah. Ia dengan rela menerima tanggung jawabnya secara mantap. Oleh sebab itu, ia tidak akan melebih-lebihkan arti penting pekerjaannya. Ia tidak menonjolkan kelebihan dan keberhasilannya. Semua yang perlu dilakukan semata-mata untuk memberikan peluang agar setiap peserta didik memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pada saat yang sama ia secara ikhlas menerima konsekuensi penegakan prinsip dan tindakan yang dilakukannya.
. Semua pengaruh yang dimilikinya digunakan semata-mata demi kepentingan peserta didik, bukan untuk kepentingan lain. Tujuan utama sekolah adalah membelajarkan peserta didik. Ia akan berusaha mengendalikan diri sendiri dan bawahannya agar tidak merugikan kepentingan masa depan anak didiknya. Ia berpendirian bahwa semua peserta didik perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan karakter yang diperlukan untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi lingkungannya.
. Semua orang dapat dididik dan semua peserta didik dapat belajar. Ada beragam cara yang dapat digunakan agar peserta didik dapat memiliki cara belajar seumur hidup. Oleh sebab itu, kepala sekolah perlu menekankan bahwa sumber belajar tidak cuma guru, tetapi masih banyak yang lain seperti teman, buku, orang tua, dan sebagainya. Ia perlu menekankan bahwa dalam masyarakat modern, pendidikan adalah peluang untuk hidup lebih bermakna dan memberi kesempatan berperan dalam mobilitas sosial.
. Kepala sekolah harus yakin bahwa anggota sekolahnya memerlukan standar, harapan, dan kinerja bermutu tinggi. Oleh sebab itu, ia harus yakin bahwa visi sekolah harus menekankan standar pembelajaran yang tinggi. Ia juga perlu yakin perlunya menempuh risiko yang nalar untuk meningkatkan mutu sekolanya. Menggunakan pengaruh jabatan secara produktif untuk melayani peserta didik dan keluarganya.
. Kepala sekolah harus yakin tentang pentingnya pengikutsertaan seluruh anggota komunitas sekolah. Keputusan manajemen sekolah adalah untuk meningkatkan mutu pembelajaran sehingga ia mempercayai para guru dan staf pendukung dan pertimbangan mereka dalam keputusan manajerialnya. Ia juga melibatkan keluarga dan pihak-pihak berkepentingan lainnya dalam proses pengambilan keputusan sekolah. Ia yakin tentang perlunya membangun dan memelihara semangat komunitas sekolah yang yang peduli. Dengan cara ini ia akan dapat memfasilitasi penggalian sumber daya keluarga dan masyarakat untuk mendukung pendidikan peserta didik.
. Kepala sekolah harus yakin bahwa belajar berlangsung sepanjang hayat (life-long learning). Ia harus dapat memberi contoh yang pas mengenai hal ini, sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari praktik sehari-hari dalam manajemen sekolahnya. Dengan demikian, ia menunjukkan keterbukaan dan penerimaan gagasan baru, tidak jadi soal dari manapun datangnya gagasan itu.
. Kepala sekolah yakin tentang perlunya pengembangan profesional sebagai bagian integral peningkatan sekolah. Ia tahu dunia tidak pernah berhenti dan terus berubah. Oleh sebab itu, ia akan selalu mencari peluang untuk terus meningkatkan profesionalitas diri dan stafnya.
. Kepala sekolah harus yakin bahwa keragaman komunitas sekolah memperkaya sekolah. Ia mengakui dan memberi peluang adanya keragaman gagasan, nilai-nilai, dan budaya. Tindakannya menunjukkan pengakuan itu dengan tidak memberi peluang praktik-praktik diskriminatif di sekolahnya.
. Kepala sekolah berpendirian bahwa lingkungan belajar haruslah aman, sehat, dan suportif. Ia akan berusaha keras agar imbasan masalah-masalah sosial tidak sangat berpengaruh terhadap efektivitas sekolahnya. Misalnya, ia akan mengerakkan anggota sekolahnya untuk memerangi penyalahgunaan narkoba, perjudian, pemerasan, dan perilaku asosial lainnya. Ia juga berkeyakinan bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Oleh sebab itu, ia akan menggerakkan anggotanya untuk bersih lahir-batin dalam semua hal dan memelihara kebersihan itu dengan konsisten.
. Kepala sekolah yakin bahwa sekolahnya beroperasi sebagai bagian integral dari masyarakat yang lebih besar. Oleh sebab itu, ia menerapkan pendekatan sistem dalam setiap tindakan yang mempengaruhi kepentingan sekolahnya.
. Kepala sekolah yakin bahwa publik memerlukan informasi yang cukup tentang sekolah dan kemajuan atau bahkan masalah yang dihadapi. Oleh sebab itu, ia merasa perlu bersikap terbuka dan bertanggung gugat atas praktik yang diterapkan dalam mengelola sekolahnya. Ia yakin bahwa jika ia jujur dalam keterbukaannya, pihak-pihak yang berkepentingan juga akan lebih dapat memahami kekeliruan yang mungkin telah dilakukan dan bahkan mungkin akan mau membantunya untuk memperbaiki kekeliruan itu.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Standar kompetensi dan kinerja yang dikemukakan disini akan berimplikasi pada penetapan kebijakan baru tentang persiapan, seleksi, penempatan, dan pengembangan kepala sekolah. Dengan standar kompetensi seperti itu, seleksi kepala sekolah harus dilakukan secara transparan, bertanggung gugat, dan demokratis. Setiap orang, terutama guru, dapat menjadi kepala sekolah jika memenuhi persyaratan kompetensi yang ditetapkan. Perguruan tinggi, utamanya mantan IKIP, perlu menyusun program studi manajemen pendidikan yang benar-benar dapat menyiapkan calon-calon kepala sekolah yang memiliki standar kompetensi sebagaimana yang diharapkan. Pusat Pengujian Depdiknas, misalnya, perlu menyusun alat (tes) yang dapat digunakan untuk menguji kompetensi calon kepala sekolah. Selain itu, kepala sekolah dipilih secara demokratis dari sekumpulan calon yang memiliki catatan perilaku berintegritas tinggi. Para pemilih adalah semua anggota atau pihak-pihak yang berkepentingan bagi kemajuan pendidikan di lingkungan sekolah yang bersangkutan. Cara pemilihan yang demokratis seperti ini harus dapat dipantau secara seksama untuk menghindari kemungkinan dicederai oleh praktik suap. Untuk pengembangan lebih lanjut, perguruan tinggi bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan (Diklat) dapat melaksanakan program-program pengembangan yang disusun sesuai dengan kebutuhan unik bagi masing-masing kepala sekolah.

Tanpa adanya standar kompetensi yang cukup tinggi bagi para kepala sekolah rasanya sukar berharap bahwa pendidikan di Indonesia akan dikenal berkualitas baik di dunia. Apakah standar itu terlalu tinggi? Bagi mereka yang tidak peduli dengan masa depan anak didik, standar seperti itu jelas merupakan siksaan. Namun, masih banyak calobn atau kepala sekolah yang memang benar-benar serius melaksanakan pekerjaannya. Bagi mereka yang sungguh-sungguh berkemauan menjadi kepala sekolah yang bervisi, kompeten, dan berintegritas tinggi standar kompetensi sebagaimana yang diuraikan adalah masuk akal. Bagi mereka ini standar seperti itu adalah tantangan pekerjaan. Bagi mereka kinerja yang bagus dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi anggota sekolahnya telah merupakan penghargaan tersendiri. Orang-orang seperti ini layak mendapat penghargaan sepantasnya dalam posisinya sebagai kepala sekolah.
SUMBER ACUAN

Council of Chief State School Officers, "School Principal Standard of Competencies," One Massachusetts Avenue, NW . Suite 700 . Washington, DC 20001-1431. Standar kompetensi ini antara lain diadaptasi oleh Negara Bagian California dan Illinois sebagai standar profesional para kepala sekolah, http://www.csla.org

Encarta, Desk Encyclopedia © 1996-97 Microsoft Corporation, CD-ROM version.

ERIC, Clearinghouse on Educational Management, Trends and Issues: the Role of School Leader, downloaded April 2002, Direproduksi oleh Pusdiklat Pegawai Depdiknas April 2002, http://eric.uoregon.edu (semua informasi dimuat di public domain dan dapat direproduksi secara bebas).

Lightfoot, Sara (1983), The Good High School: Portrait of Character and Culture, New York, Basic Books.
Saya Agus Dharma setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
Diposkan oleh syarif usman di 23.44 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Link ke posting ini
LEARNING HOW TO LEARN
LEARNING HOW TO LEARN
Oleh : DR. Sulipan, M.Pd.

Pengertian Learning How To Learn (belajar bagaimana cara untuk belajar) :
Cara belajar yang mengarahkan dan mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan memperluas materi secara mandiri melalui diskusi, observasi, studi literatur dan studi dokumentasi (metode inquiry). Cara belajar yang dapat menumbuhkan dan memupuk motivasi internal peserta didik untuk belajar lebih jauh dan lebih dalam.

Peserta didik berlatih dalam :
1. Membaca dalam hati
• Siswa sebelumnya diminta membaca biasa secara bergiliran, baru kemudian diminta membaca dalam hati.
2. Membaca secara cepat
• Di sini dilakukan dengan membaca dalam hati tanpa adanya pembatasan waktu, kemudian dilanjutkan dengan membaca dalam hati tetapi dengan pembatasan waktu.
3. Mengidentifikasi hal-hal yang penting dalam suatu materi
• Hal ini dapat dilakukan setelah membaca dalam hati tanpa pembatasan waktu, dengan perintah untuk mengingat hal-hal penting.
• Langkah kedua adalah membaca dalam hati dengan pembatasan waktu, ditambah perintah untuk mengingat hal-hal penting.
• Untuk mengetahui penguasaan siswa, guru dapat melakukan tanya jawab secara langsung sebagai latihan.
• Selanjutnya guru dapat memberikan tes tertulis mengenai suatu materi yang dibaca
4. Menghafal secara efisien
• Dilakukan dengan menuliskan hal-hal penting untuk kemudian dihafal.
• Dilakukan dengan menghubungkan suatu materi dengan hal-hal yang sudah biasa didengar atau sesuatu yang lucu atau sedang terkenal.
5. Menghitung dalam hati
• Siswa diberi soal sederhana secara lisan, diberi waktu berpikir dan kemudian jawaban dituliskan (hanya jawaban terakhir).
• Pertama kali dilakukan dengan waktu yang longgar, kemudian secara bertahap waktu dipersingkat.
6. Mengidentifikasi macam-macam manfaat/kegunaan suatu benda
• Siswa diminta menjelaskan sebanyak mungkin manfaat/kegunaan sebuah benda, hingga manfaat/kegunaan yang tidak biasa.
7. Membuat ringkasan materi
• Siswa diberi tugas membaca dan meringkas materi menjadi beberapa kalimat, yang makin lama makin sedikit kalimatnya.
8. Membuat kesimpulan
• Siswa diberi bahan bacaan berupa sebuah cerita, peristiwa, atau permasalahan kemudian diminta membuat kesimpulan atas apa yang dibacanya.,
9. Menyusun laporan pengamatan
• Siswa diminta mengamati suatu peristiwa atau proses kemudian diminta membuat laporan atas apa yang diamatinya.
10. Menyusun karangan tentang pengalaman yang dimiliki
• Siswa diminta menyusun karangan tentang pengalaman pada masa liburan atau pada waktu tertentu yang menarik minatnya.
11. Meniru suatu pekerjaan atau barang
• Mengamati seseorang yang bekerja dan kemudian menirunya
• Membuat barang dengan meniru yang telah ada
12. Belajar melalui modul, buku manual atau petunjuk pengoperasian
• Mempelajari modul/buku manual dan bekerja sesuai petunjuk.
Diposkan oleh syarif usman di 23.28 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Link ke posting ini
LIFE SKILL (KECAKAPAN HIDUP)
LIFE SKILL (KECAKAPAN HIDUP)

Disarikan dari beberapa sumber oleh :
DR. Sulipan, M.Pd.


Pengertian life skill (kecakapan hidup) :
Kecakapan untuk menghadapi masalah dalam kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya.

Pengertian pendidikan kecakapan hidup :
Pendidikan yang mengarahkan dan mendorong peserta didik untuk mempelajari kecakapan hidup (life skill) melalui pendidikan berbasis luas serta belajar bagaimana untuk belajar (learning how to learn).

Tujuan pendidikan kecakapan hidup (life skill) :
1. Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Memberikan kesempatan kepada kepala sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas (broad based education).
3. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di sekolah maupun di masyarakat sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (school-based management).

Manfaat :
Sebagai bekal bagi peserta didik dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang dihadapi.

Pengelompokan kecakapan hidup :
1. Kecakapan pribadi (personal skill)
2. Kecakapan sosial (social skill)
3. Kecakapan akademik (academic skill)
4. Kecakapan kejuruan (vocational skill)

Kecakapan pribadi meliputi :
1. Penghayatan diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebagai anggota masyarakat dan warga negara.
2. Menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, untuk menjadikannya sebagai modal dalam manusia yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya.
3. Kecakapan menggali dan menemukan informasi.
4. Kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan.
5. Kecakapan memecahkan masalah secara kreatif.

Kecakapan sosial meliputi :
1. Kecakapan komunikasi dengan empati.
2. Kecakapan bekerja sama.

Kecakapan akademik melipui :
1. Kecakapan mengidentifikasi variabel.
2. Kecakapan merumuskan hipotesis.
3. Kecakapan melaksanakan penelitian.

Kecakapan kejuruan meliputi :
1. Kecakapan dalam melakukan keterampilan nyata untuk membuat, mengolah, memasang, merakit atau memperbaiki barang tertentu.
2. Kecakapan dalam melakukan bidang pekerjaan tertentu di masyarakat/industri/perusahaan.

Penerapan pendidikan kecakapan hidup di sekolah :
1. Pendidikan dasar (SD-SLTP/MI-MTs)
2. Penekanan : Personal, thinking, social skill
Ditambah : Pra academic dan vocational skill
3. Pendidikan menengah (SMU-SMK)
SMU : Penekanan Acdm. Skill (+ personal, thinking, social, voc. skill)
SMK : Penekanan Voct. Skill (+ personal, thinking, social, acdm. skill)

Arah pendidikan di SMK :
• Ditekankan pada kecakapan kejuruan, dengan tetap dibekali kecakapan personal, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial dan kecakapan akademik sebagai bekal pengembangan diri.
• SMK yang memiliki kemampuan/keunggulan diarahkan menjadi Community College, yaitu sebagai tempat pelatihan kejuruan bagi siswa SLTP/SMU/drop-out/umum yang selanjutnya dapat dikembangkan ke arah politeknik.
PENERAPAN LIFE SKILL DALAM PROSES PEMBELAJARAN

Prinsip :
• Siswa harus mampu memahami hubungan antara pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan sehari-hari.
• Siswa harus mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari di sekolah untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pengertian Broad Based Education (pendidikan berbasis luas) :
• Pendidikan harus didasari dengan personal skill, thinking skill dan social skill.
• Pendidikan yang tidak hanya mempelajari suatu materi atau ilmu secara sempit tetapi juga dalam kaitannya dengan hal-hal lain atau dengan bidang ilmu lain.

Pengertian Learning How To Learn (belajar bagaimana cara untuk belajar) :
• Cara belajar yang mengarahkan dan mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan memperluas materi secara mandiri melalui diskusi, observasi, studi literatur dan studi dokumentasi (metode inquiry).
• Cara belajar yang dapat menumbuhkan dan memupuk motivasi internal peserta didik untuk belajar lebih jauh dan lebih dalam.

Langkah-langkah penerapan life skill dalam proses pembelajaran
1. Guru harus menjelaskan tujuan pembelajaran.
2. Guru harus menjelaskan hubungan antara mata pelajaran/program diklat dengan kehidupan nyata di lapangan/masyarakat melalui contoh-contoh nyata.
3. Siswa mempelajari pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam suatu materi pelajaran/diklat sekaligus penerapan/contoh dalam kehidupan nyata.
4. Siswa diarahkan dan didorong untuk mengembangkan dan memperluas materi secara mandiri melalui diskusi, observasi, studi literatur dan studi dokumentasi (metode inquiry), dalam hal ini sebenarnya guru sedang menerapkan learning how to learn.
5. Siswa berlatih menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya dalam praktek sebenarnya.
6. Siswa diberi tugas menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.


Hubungan Antara Materi Pelajaran Dengan
Life Skill dan Competency Based Training (CBT)


Materi -------> pengetahuan, keterampilan atau sikap yang dipelajari
Life skill ------> kecakapan yang diajarkan
CBT ------> sistem/pendekatan pembelajaran yang mengacu pada standar

Kesimpulan :
• Semua materi pelajaran dapat diajarkan kecakapan hidupnya (life skill), yaitu dengan menghubungkan atau menerapkan pada kehidupan nyata.
• Semua materi pelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan CBT, selama memiliki standar sebagai acuan dalam mengajarkan dan menguji.
Diposkan oleh syarif usman di 22.59 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Link ke posting ini
PROFESIONALISME GURU
PROFESIONALISME GURU

A. Definisi Profesionalisme
Profesionalisme berasal dari istilah professional yang dasar katanya adalah profesi (profession). Untuk itu ada baiknya penulis kemukakan terlebih dahulu istilah profesional. Profesional berarti persyaratan yang memadai sebagai suatu profesi (Abin Syamsuddin, 1996:48). Selain itu pengertian profesional menurut Tilaar (1999) bermakna: (1) sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melaku-kannya (lawan amatir). Menurut Dedi Supriyadi (1998:95) dan Sudarwan Danim (2002:22), kata professional merujuk pada dua hal:
Pertama, adalah orang yang menyandang sutau profesi, orang yang biasanya melakukan pekerjaan secara otonom dan dia mengabdi diri pada pada pengguna jasa disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya, atau penampilan seseorang yang sesuai dengan keten-tuan profesi. Kedua, adalah kierja atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Pada tingkat tinggi, kinerja itu dimuati unsur-unsur kiat atau seni (art) yang menjadi ciri tampilan professional seorang penyandang profesi.
Menurut S. Prayudi A, (1979), istilah profesional dapat diartikan pula sebagai: “usaha untuk menjalankan salah satu profesi berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki seseorang dan berdasarkan profesi itulah seseorang mendapatkan suatu imbalan pembayaran berdasarkan standar profesinya.”
Sedangkan kata profesi dapat diketahui dari tiga sumber makna, yaitu makna etimology, makna terminology, dan makna sociology. Secara etimologi, profesi berasal dari istilah bahasa Inggris profession atau bahasa Latin profecus, yang artinya mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Secara terminology, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan mental disini menurut Sudarwan Danim (2002:21) adalah: “adanya persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrument untuk melakukan perbuatan praktis.” Merujuk pada definisi ini, pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan manual atau fisikal, meskipun levelnya tinggi, tidak digolongkan dalam profesi. Secara sosiologi dikemukakan Carr-Saunders dalam Peter Jarvis (1992:21) bahwa: “profession may perhaps be defined as an accupation bessed upon specialized intellectual study and training. The purpose of wich is to supply skilled service or advice to other for definite fee or salary.” Sedangkan Cogan (1953) dalam Peter Jarvis (1992:21) memberikan batasan “… that a profession is vacation of some practice is founded upon an understanding of teoritical structure of some depertemen of learning or science.” Menurut Abin Syamsuddin Makmun (1996:47) “profesi menunjukkan suatu kepercayaan (to profess mean to trust), bahkan suatu keyakinan (to belief in) atas suatu kebenaran (ajaran agama) atau kredibilitas seseorang, dan menunjukkan suatu pekerjaan atau urusan tertentu (a particular business).”
Secara sosiologi, Vollmer & Mills dalam Abin Syamsuddin (1996:47) mempersepsikan bahwa profesi itu hanyalah merupakan jenis model atau tipe pekerjaan ideal saja, karena dalam realitanya bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkannya.” Namun tetap bias diwujudkan, bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dedi Supriadi (1998:95) menyatakan bahwa “profesi menunjukkan suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi tersebut.” Parelius and Parelius dalam Wuradji (1988:50) memberikan batasan tentang pekerjaan profesi itu menuntut adanya spesialisasi secara menjurus (highly specialized), dilandasi oleh pengetahuan-pengetahuan yang khusus (esoteric knowledge), dilandasi oleh pendidikan yang tinggi denganprogram-program pendidikan dan latihan yang matang.
Secara ideologi pekerjaan profesi menekankan pada tanggung jawab dan pelayanan tertentu, dari sekedar pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan keuntungan pribadi. Ada kode etik yang memberikan pertimbangan-pertimbangan secara otomatis dalam membedakan pekerjaan mana yang tergolong pekerjaan profesi dan mana yang bukan, serta diantara para praktisi professional diikat dalam suatu organisasi profesi dengan cakupan yang luas.
Rumusan yang singkat dan sederhana ini mengandung sejumlah makna yang masih perlu dikaji lebih lanjut agar dapat dipahami keseluruhan definisi profesi. Menurut Oemar Hamalik (2006:2) ada beberapa komponen yang terkandung dalam definisi profesi, yaitu: (1) pernyataan atau janji yang terbuka, (2) mengandung unsur pengabdian, dan (3) suatu jabatan atau pekerjaan. Blackington (1968) dalam Oemar Hamalik (2006:3) menyatakan a profession may defined most simply as a vacation which is organized, incompletely, no doubt, but genuinely, for the performance of function.
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian profesi adalah suatu jenis pekerjaan yang bukan dilakukan dengan mengandalkan kekuatan fisik, menuntut pendidikan yang tinggi bagi orang-orang yang memasukinya serta mendapat pengakuan dari orang lain. Jenis pekerjaan seperti yang telah digambarkan di atas salah satu diantaranya adalah jabatan guru. Pada hakekatnya guru merupakan profesi tenaga akademik pada lembaga pendidikan tingkat sekolah. Guru adalah salah satu sumberdaya yang sangat penting dalam pengelolaan organisasi pendidikan. Untuk mencapai hasil pendidikan sebagai mana yang diharapkan, diperlukan kegiatan manajemen sumberdaya manusia.
Selanjutnya disini patut pula kiranya penulis kemukakan istilah profesionalisme. Istilah ini diangkat dari bahasa Inggris professionalism yang secara leksikal berarti “sifat professional” (Sudarwan Danim, 2002:23). Pandji Anoraga & Sri Suyati (1995:85) menyatakan “profesi-onalisme merupakan suatu tingkah laku, suatu tujuan atau rangkaian kualitas yang menandai atau melukiskan coraknya suatu profesi.” Profesinalisme mengandung pula pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau sebagai sumber kehidupan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Oemar Hamalik (2006:42) bahwa profesionalisme guru mengandung pengertian yang meliputi unsur-unsur kepribadian, keilmuan, dan keterampilan. Dengan demikian dapat diartikan, bahwa kompetensi professional tentu saja meliputi ketiga unsur itu walaupun tekanan yang lebih besar terletak pada unsur keterampilan sesuai dengan peranan yang dikerjakan. Sehingga Danim (2002) menyatakan bahwa “orang yang profesional memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan orang yang tidak profesional meskipun dalam pekerjaan yang sama atau katakanlah berada dalam satu ruang kerja.”
Dedi Supriyadi (1998:95) istilah profesionalisme merujuk pada derajat penampilan individu sebagai seorang professional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi. Oleh karenanya dapat dimaknai sebagai mutu, kualitas, dan tindak-tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional, atau sifat profesional. Profesi-onalisme itu berkaitan dengan komitmen para penyandang profesi. Untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya secara terus menerus, mengembangkan strategi-strategi baru dalam tindakannya melalui proses pembelajaran yang terus menerus pula. Dalam hal ini Peter Jarvis (1992:28) menyatakan: “professionalism … commitment to the accupa-tional organization, and dedication to being masier knowledge and skillful provider of service stemming from the knowledge upon which the occupation is based.” Sementara itu Friedson (1970:151) mendefisikan: “professionalism as commitment to professional ideal and career.
Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian profesionalisme adalah suatu paham yang menciptakan dilakukannya berbagai kegiatan kerja tertentu dalam kehidupan masya-rakat dengan berbekal keahlian yang tinggi dan berdasarkan pada rasa keterpanggilan jiwa dengan semangat untuk melakukan pengabdian memberikan bantuan layanan pada sesama manusia.
Untuk mencapai derajat profesionalisme yang tinggi, maka dibutuhkan proses profesionalisasi. Adapun profesionalisasi dimaknai sebagai suatu proses untuk menjadikan suatu pekerjaan memperoleh status profesional. Sudarwan Danim (2002:23) menyatakan bahwa: “profesionalisasi adalah suatu proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai criteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesi itu.”
Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Aktualisasi dari profesionalisasi itu antara lain dengan melakukan penelitian, diskusi antar anggota profesi, penelitian dan pengembangan, melakukan uji coba, mengikuti forum-forum ilmiah, studi mandiri dari berbagai sumber media, studi lanjutan, studi banding, observasi praktikal, dan langkah-langkah lain yang dituntut oleh persyaratan profesi masing-masing.
Menurut Peter Jarvis (1992:28); Sudarwan Danim (2002:23); dan Nina Syam (2002:13) terdapat tujuh tahapan menuju status professional yang dapat penulis resumekan sebagai berikut: Pertama, penentuan spesialisasi bidang pekerjaan sesuai dengan pengetahuan khusus dan keterampilan untuk menerapkan pengetahuan khusus tersebut yang dimiliki oleh seseorang; Kedua, penentuan tenaga ahli yang memenuhi persayaratan untuk menjalankan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan khusus yang dimiliki oleh tenaga kerja dalam menjalankan pekerjaannya; Ketiga, penentuan pedoman kerja sebagai landasan kerja yang disebut juga sebagai standar perilaku tenaga kerja dalam menjalankan pekerjaannya atau kehaliannya. Pedoman kerja tersebut disebut juga sebagai etika kerja; keempat, peningkatan kreativitas kerja sebagai usaha untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik bagi profesi itu sendiri maupun bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanannya; Kelima, penentun tanggung jawab kerja bagi professional di dalam menjalankan pekerjaannya; Keenam, pembentukan organisasi kerja untuk mengatur tenaga kerja yang terdapat dalam organisasi tersebut; Ketujuh, memberi-kan pelayanan yang ketat dan penilaian dari masyarakat pengguna jasa profesi untuk menentukan pelayanan kerja sebagai pelayanan yang profesional.

B. Karakteristik Profesi
Uraian tentang profesi, professional, profesionalisme, dan profesionalisasi yang diuraikan di atas sebenarnya sudah memberikan gambaran da penjelasan secara nyata tentang sifat-sifat khas atau karakteristik dari sebuah profesi. Telaahan tentang karakteristik profesi telah banyak dilakukan para pakar yang meminatinya, namun menurut Abin Syam-suddin (1996:48) “tidak ada kesimpulan hasil kajian para pakar tersebut mengenai perangkat karakteristik keprofesian.”
Ornstein & Levine dalam Soetjipto dan Raflis Kosasi (1999:15) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang memiliki beberapa karakteristik. Ornstein & Levine mengemukakan paling sedikit ada 14 karakteristik sebuah profesi seperti yang diuraikannya di bawah ini:
1. Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan).
2. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya).
3. Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktik (teori baru dikembangkan dari hasil penelitian).
4. Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
5. Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mem-punyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persya-ratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendu-dukinya).
6. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang luar).
7. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang ber-hubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lebih tinggi). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
8. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien; dengan penekanan terhadap layanan yang akan di-berikan.
9. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya; relative bebas dari supervisi dalam jaba-tan (misalnya dokter memakai tenaga administrasi untuk mendapat klien, sementara tidak ada supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter itu sendiri).
10. Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
11. Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok ‘elite’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggo-tanya (keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departemen Kesehatan).
12. Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.
13. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari public dan kepercayaan diri setiap anggotanya (anggota masyarakat selalu menyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).
14. Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi (bila dibanding dengan jabatan lainnya).
Tidak berbeda jauh dengan ciri-ciri tersebut di atas, Sanusi et.al (1991) mengemukakan ciri-ciri utama suatu profesi itu sebagai berikut:
1. Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan (crusial).
2. Jabatan yang menentukan keterampilan/keahlian ter-tentu.
3. Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggu-nakan teori dan metode ilmiah.
4. Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik, eksplisit yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
5. Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat Pergu-ruan Tinggi dengan waktu yang cukup lama.
6. Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai professional itu sendiri.
7. Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi
8. Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.
9. Dalam praktiknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang luar.
10. Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.
Oteng Sutisna (1993:303) yang mengutif pendapat More (1970) menyebutkan ciri-ciri profesi adalah sebagai berikut:
1. Seorang professional menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya.
2. Terikat oleh suatu panggilan hidup dan dalam hal ini memperlakukan pekerjaannya sebagai perangkat norma kepatuhan dan perilaku.
3. Anggota organisasi professional yang formal.
4. Menguasai pengetahuan yang berguna dan kete-rampilan atas dasar latihan spesialisasi atau pendidikan yang sangat khusus.
5. Terikat oleh syarat-syarat kompetensi, kesadaran prestasi, dan pengabdian.
6. Memperoleh otonomi berdasarkan spesialisasi teknis yang tinggi sekali.
Sementara Volmer & Mills dalam Abin Syamsuddin (1996:47) mengajukan unsur-unsur essensial profesi adalah: Suatu dasar teori sistematis, adanya kewenangan yang diakui oleh klien; sangsi dan pengakuan masyarakat atas kewenangan ini, adanya kode etik yang mengatur hubungan-hubungan dari orang-orang professional dengan klien dan teman sejawat, dan adanya kebudayaan profesi atau nilai-nilai, norma, dan lambing-lambang.
Edgar H. Schien dalam Andi PP Undap (1988:97) mengemukakan 12 karakteristik suatu profesi seperti berikut ini.
1. Professions are accupationally related social institution established and maintained as a means of providing essential services to the individual and the society.
2. Eash profession is conserned with an identified area of need of function (e.g. maintenance of physical and emotional health, preservation of rights and freedom, enchanching the opportunity to learn).
3. The profession collectively, and professional individuality, possesses a body of knowledge and repertoire of behaviors and skills (professional culture) needed in the practice of the profession; such knowledge, behavior and skills normally are not possessed by nonprofessional.
4. The members of the profession are involved in decision making in the service of client the valid knowledge available, against a background of principles and theories, and whitin the context of possible impact on other related conditions or decisions.
5. The profession is based on one more undergriding disciplines from which it draws basic insight and upon wich is builds its own applied knowledge and skills.
6. The profession is organized into one more professional associations which, within broad limit of social accountability, are granted autonomy in control of the actual work of the profession and the conditions wich surround it (admissions, educational standards, examination and licensing, career line, ethical and performance standard, and professional discipline).
7. The profession has agreed-upon performance standard for admission to the profession and for the contituance within it.
8. Preparation for and induction to the profession is provided through protacted preparation program, usually in the professional school or college or university campus.
9. There is hight level of public trust and confidence in the profession and in individual practitioners, based upon the profession’s demonstrated capacity to provide service markelly beyond that wich would otherwise be available.
10. Individual practitioners are characterized by a strong service motivation and lifetime commitment to competence.
11. Authority to practice in any individual case derives from the client or the employing organization; accountability for the competence of the professional practice within the particular case is to the profession it self.
12. There is relative freedom from direct on the job supervition and from direct public evaluation of the individual practitioner. The professional accepts responsibility in the name of his or her profession and is accountable through his or her profession to the society.
Philip Kochman (1970:83-88) berpendapat senada dengan Schein memberikan 12 kriteria tentang pekerjaan yang bersifat profesi, yaitu:
1. Membutuhkan suatu persiapan yang relative lama dan menjurus.
2. Disertai oleh kegiatan-kegiatan intelektual yang ulung dan anggota-anggotanya memiliki pengetahuan-pengetahuan serta kecakapan-kecakapan yang mengkhusus.
3. Menentukan standar yang relative tinggi untuk diterima sebagai anggota profesi.
4. Pekerjaannya merupakan suatu karier seumur hidup.
5. Diwakili oleh organisasi atau organisasi-organisasi yang efektif.
6. Mempunyai otonomi yang luas dan dalam banyak hal menentukan standarnya sendiri.
7. Berbakti untuk perluasan pengetahuan dalam bidang-nya.
8. Memberikan prioritas yang tinggi pada pelayanan.
9. Mengutamakan perbaikan diri dan perkembangan dalam usaha-usaha pelayanan.
10. Melindungi kesejahteraan anggota-anggotanya
11. Membutuhkan ijin atau sertifikat untuk berpraktik.
12. Mendasarkan praktiknya pada prinsip-prinsip etik yang dirumuskan dengan jelas.
M. Pidarta (1980:45) sambil mengutip pendapat Edgar H. Schien mengemukakan kriteria profesi sebagai berikut:
1. Seorang professional harus bekerja full-time di bidang profesinya dan sebagai sumber penghidupan. Disini secara implicit suatu pengertian bahwa seorang professional tidak boleh bekerja lebih banyak di luar dan menomor-duakan tugas utamanya.
2. Seorang professional memiliki motivasi yang kuat untuk bekerja dalam bidangnya, yang merupakan dasar bagi pilihan jabatan tersebut. Sehingga jabatan tersebut akan dikerjakan dengan sepenuh hati.
3. Seorang professional memiliki pengetahuan khusus dan keterampilan yang diperolehnya dalam pendidikan yang cukup lama.
4. Membuat keputusan-keputusan dalam tindakannya demi untuk kepentingan klien, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau untuk kepentingan organisasi atau golongannya. Ia harus bekerja tanpa pamrih.
5. Seorang professional harus berorientasi pelayanan kepada klien, dan yang ia pentingkan adalah bagaimana dapat melayani siswa dengan sebaik-baiknya demi kemajuan siswa itu sendiri. Seorang professional adalah seorang yang mengabdi kepada tugasnya.
6. Pelayanannya berdasarkan atas kebutuhan objektif dari klien. Tidak boleh ada motif-motif yang lain tersembunyi di dalamnya. Keduanya, klien dan petugas professional harus jujur dan terbuka, serta harus dapat menciptakan hubungan intim demi untuk kemajuan klien.
7. Seorang professional mempunyai otonomi dalam bertindak mengenai apa yang baik bagi klien. Dia adalah orang yang lebih tahu tentang apa yang baik bagi klien daripada klien itu sendiri.
8. Menjadi anggota organsiasi profesi yang diseleksi lewat ukuran-ukuran tertentu seperti standar pendi-dikan, atau ukuran-ukuran lain yang sejenis, memiliki keahlian yang sama, dan dalam wilayah tertentu.
9. Memiliki pengetahuan yang spesifik.
10. Seorang professional tidak boleh mengadvertensi keahliannya untuk mendapat pasaran luas. Klienlah yang diharapkan berinisiatif untuk mencari dia.
Selanjutnya Abin Syamsuddin (1996:48-51) yang mengulas secara khusus pendapat Lieberman (1956) menggambarkan beberapa karakte-ristik dari suatu profesi. Menurut Lieberman profesi ini merupakan suatu jenis pelayanan atau pekerjaan yang khas, bersifat definitive yakni jelas batas kawasan cakupan bidang garapannya, serta merupakan jenis layanan yang sangat penting atau amat dibutuhkan oleh kliennya, mendapatkan pengakuan masyarakat (a unique, definite, and essential service, public acceptance).
Pelayanan itu amat menuntut kemampuan kinerja intelektual yang berbeda dengan layanan manual (an emphasiz upon intellectual techniques in performing its service).
Untuk memperoleh penguasaan teori pengetahuan dan kemam-puan profesionalnya, seseorang memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk mencapai kualifikasi keprofesionalan seseorang minimal memer-lukan waktu lima tahun, ditambah dengan pengalaman praktik yang terbimbing sehingga mencapai tingkat kemandirian secara penuh dalam menjalankan profesinya (long period of specialized training, mastery of teoritical knowledge).
Kinerja pelayanan itu sedemikian cermat secara teknis, sehingga kelompok assosiasi profesi yang bersangkutan sudah memberikan jaminan bahwa anggotanya dipandang mampu untuk melakukan sendiri tugas pelayanan tersebut. Profesional itu melakukan pelayanan secara otonom, seperti seorang guru sejak tahap awal sampai akhir dari perencanaan dalam pengajaran sampai memberi nilai kepada siswa, atau seorang dokter mendiagnosa sampai pemberian terapi. Bila mendapat kasus yang tak dapat ditangani sendiri ia membuat rujukan kepada orang lain yang dianggap berwewenang atau membawa ke dalam suatu panel (a broad range of autonomy for both the individual practitioners and the accupational group as a whole).
Sebagai konsekuensi dari otonomi profesi, seorang professional akan menerima beban tanggung jawab pribadi secara penuh akibat tindakannya bila terjadi kekeliruan, ia tidak bias melemparkan tanggung jawab kepada orang lain. Seorang professional harus siap menerima sanksi dari masyarakat, atasan atau sanksi hokum akibat kesalahannya (an acceptance by the practitionare or broad personal responsibility for judgment made and acts performance with the scope of professional).
Kinerja pelayanan professional harus mengutamakan kepentingan orang lain, daripada mempertimbangan kepentingan ekonomi yang diterimanya. Professional harus siap memberikan pelayanan kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja baik dalam keadaan dinas maupun dalam keadaan istirahat, baik dengan atau tanpa imbalan (an emphasis upon the service to be rendered, rather than the economic gain to the practitioners, as the basis for the organization and performance of the social service delegated to the occupational group).
Karena keunikan profesi ini, maka hanya anggota assiasilah yang berhak menjalankan peranan itu, dan anggota secara pribadi melalui organisasinya itu sendiri jadi pengendali dan polisi profesi yang dimulai saat penerimaan jadi anggota, mengendalikan, memberi sanksi bila diperlukan terhadap pelanggar kode etik (a comprehensive self-gouvering organization of practitioners).
Adanya kode etik yang disepakati bersama oleh semua anggota untuk memberi bimbingan nurani professional dan memberi pedoman bagi segala tingkah lakunya. Perangkat kode etik ini harus selalu dipatuhi, dan menjadi norma dasar dalam pemberian penghargaan atau hukuman bagi pelanggannya. Kode etik itu dikembangkan dan diputuskan untuk diberlakukan kepada anggotanya melalui forum tertentu dalam organisasi, biasanya dalam forum tertinggi kekuasaan anggota (a code ethics has been clarified and interpreted at ambiguous and doubt ful points by concrete cases). Pengetahuan professional berkaitan dengan pengausaan suatu disiplin akademik secara keahlian yang mendasari praktiknya. Kompe-tensi pengetahuan dan keterampilannya tidak bersifat statis. Ideology profesionalisme menuntut praktisinya selalu mengikuti perkembangan terbaru di bidangnya demi menjaga kompetensinya dan memberikan layanan yang tepat pada kliennya. Mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang lain dan memperoleh pengakuan dan penghargaan yang selayaknya baik secara social dan secara legal atas keberadaan profesi.
Memiliki jurnal dan sarana publikasi professional lainnya yang menyajikan berbagai karya penelitian dan kegiatan ilmiah sebagai media pembinaan dan pengembangan para anggotanya serta pengabdian kepada masyarakat dan khasana ilmu pengetahuan yang menopang profesinya. Setiap bidang pekerjaan dan jabatan professional harus memenuhi criteria sebagai standar dari jabatan professional sebagaimana disebutkan di atas, semakin lengkap memenuhi kriteria akan semakin besar pengarunya pada wibawa profesinya dimana masyarakat pengguna jasa profesi yang ada.
Kalau beberapa ciri tersebut di atas dipakai sebagai acuan, maka jabatan pedagang, penyanyi, penari, serta tukang koran, jelas bukan profesi. Namun apakah jabatan guru dapat disebut sebagai sebuah pofesi?

C. Perkembangan Keprofesian
Merujuk pada pendapat Elliot (1972:14) bahwa profesi secara histories ada dua tipe, yaitu: tipe profesi sebagai status dan tipe profesi pekerjaan. Profesi sebagai status diartikan sebagai sesuatu yang secara relative tidak begitu penting dalam organisasi kerja dan dalam melayani masyarakat, tetapi menduduki tempat yang tinggi dalam system tingkatan social masyarakat. Sedangkan profesi sebagai pekerjaan didasarkan pada spesialisasi dari pendidikan dan latihannya. Hal ini oleh Elliot dipandang dari dimensi sejarah. Contohnya adalah profesi pada bidang kesehatan, profesi pendeta, profesi keperaawatan adalah sebagai status, sedangkan ahli bedah, pendeta, bidan digolongkan sebagai pekerjaan.
Elliot (1972) juga mengakui bahwa perubahan perkembangan profesi dalam hubungannya dengan situasi masyarakat secara khusus telah digambarkan dalam studi tertentu. Reiss (1955) dalam Peter Jarvis (1992:23) secara sederhana memberikan lima tipe profesi komptemporer, masyarakat industri sebagai berikut:
Old established professions – founded upon the study of a branch of learning, e.g. medicine. New professions – founded upon new discipline, e.g. chemist, social scientist. Semiprofesions – based upon technical practice and knowledge, e.g. nurses, teachers, social workers. Would – be professions – familiarity with modern practice in business, etc; distinguish this group who aspire to professional status, e.g. personal directors, sales directors, engineers, etc. Marginal professions - based upon technicians, draughtsmen.
Sementara itu Richey (1974) dalam Abin Syamsuddin (1996:52) telah mengidentifikasi tingkat-tingkat keprofesian. Dimana baik Reiss maupun Richey masing-masing mengelompokkan pada lima tipe profesi, yaitu: (1) profesi yang sudah tua, (2) profesi baru, (3) profesi yang sedang tumbuh, (4) semiprofessional, dan (5) pekerjaan atau jabatan yang belum jelas statusnya. Selanjutnya Robert B. Howsam, et.al (1976:7-9) menyatakan bahwa:
Profesi tertua adalah hukum, kesehatan, teologi, dan guru. Profesi terbaru adalah arsitektur, insinyur (engineering) dan optometri. Pekerjaan yang segera diakui sebagai profesi (emergent professions) adalah pekerja sosial (social worker) yang masih semi professional akan segera diakui sebagai profesi yang professional.
Mengingat tugas dan tanggung jawab guru yang begitu kompleks, maka jabatan guru menurut Muhammad Ali (2002) merupakan sebuah profesi. Lebih lanjut Muhammad Ali (2002) untuk memasuki profesi guru memerlukan persyaratan khusus, antara lain:
1. Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
2. Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan profesinya.
3. Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
4. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakan.
5. Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
Lebih lanjut Howsam et.al (1976) menyatakan diperlukan perjuangan panjang yang terus menerus dan bertahap dari pekerjaan yang masih bersifat semi professional untuk diakui sebagai pekerjaan yang menuntut professional penuh. Berdasarkan proses tersebut ternyata untuk mencapai tingkat professional, proses profesionalisasi terus berlangsung, dan pada masyarakat yang akan datang, hal itu semakin memegang peranan yang sangat penting (Tirtamihardja dan Sulo, 2000:143).
Berdasarkan analisis ini tampak jabatan guru belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai suatu profesi yang utuh, dan bahkan banyak orang sependapat bahwa guru hanya jabatan semiprofesional atau profesi yang baru muncul (emerging profession) karena belum semua ciri-ciri di atas dapat dipenuhi. Pendapat ini sebelumnya telah dikemukakan oleh Amitai Etzioni (1969:v) yang menyatakan guru adalah jabatan semiprofessional disebabkan oleh: … the training [of teachers] is shorters, their status less legitimated [low or moderate], their right to privileged communication less established; there is less of a specialized knowledge, and they have less autonomy from supervision or societal control than ‘the professions’ …
Selanjutnya Robert B. Howsam et.al (1976) menulis bahwa guru harus dilihat sebagai profesi yang baru muncul, dan karena itu mempunyai status yang lebih tinggi dari jabatan semiprofessional lainnya, malah mendekati status professional penuh. Pada saat sekarang, sebagian orang cenderung menyatakan guru sebagai sebuah profesi, dan sebagian lagi tidak memgakuinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan jabatan sebagian guru, yang bermakna bukan seluruhnya merupakan jabatan professional, namun jabatan ini sedang bergerak kearah itu. Berbeda dengan jabatan guru di daerah lainnya, secara dejure profesi guru, khususnya di Indonesia sudah menjadi sebuah profesi sebagai mana termuat dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga jabatan guru bukan saja menyangkut tentang pekerjaan, tapi sudah merupakan profesi. Hal ini bermakna bahwa jabatan ini menuntut pendidikan yang khusus, dalam jangka waktu yang lama, dan memiliki kualifikasi tertentu.
Karena dalam setiap profesi atau jabatan tentu saja memiliki tingkat kemahiran. Tilaar (2000:137-139) memberi penjelasan tentang tingkat dari setiap pekerjaan (okupasi) menjadi mata pencaharian dengan membeda-kannya ke dalam tiga tingkat kemahiran yakni: (1) delitan, (2) amatiran, dan (3) professional.
Namun sebelumnya Conny Semiawan (1991) mengemukakan hierarki profesi tenaga kependidikan terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: (1) tenaga professional, (2) tenaga semiprofessional, dan (3) tenaga paraprofessional. Lebih lanjut Semiawan (1991) menjelaskan bahwa, tenaga professional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya S1 atau setara, dan memiliki wewenang penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, pengendalian pendidikan/pengajaran. Tenaga kependidikan yang termasuk dalam kategori ini juga berwenang untuk membina tenaga kependidikan yang lebih rendah jenjang profesionalnya, misalnya guru senior membina guru yang lebih junior.
Tenaga semiprofessional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan tenaga kependidikan D3 atau setara yang telah berwenang mengajar secara mandiri, tetapi masih harus melakukan konsultasi dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi jenjang profesionalnya, baik dalam hal yang perencanaan, pelaksanaan, penilaian maupun pengendalian pengajaran.
Tenaga paraprofessional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan tenaga kependidikan D2 ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengendalian pendidikan/pengajaran. Dengan demikian, tenaga kependi-dikan yang masih berpendidikan belum mencapai S1 termasuk dalam kategori sebagai guru yang belum professional.
Sejalan dengan pendapat di atas, Windham (1988) mengklasifikasi-kan derajat mutu tenaga kependidikan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) berkualifikasi penuh; (2) berkualifikasi sebagian; dan (3) tidak memenuhi kualifikasi. Dalam kaitan ini, Windham (1988) mengemukakan sebagai berikut:
1. Qualified, prossessing the academic and teacher training attainment appropriate the assigned level and type of teaching.
2. Underqualified, prossessing the academic but not the teacher training appropriate to the level of assignment.
3. Underqualified, prossessing neither the academic nor the teacher training attainment appropriate to the level of assignment.
Oleh sebab itu, bagi setiap guru dituntut memiliki sifat-sifat profesionalisme yang tinggi, sebagaimana telah diatur dalam undang-undang bahwa pekerjaan di bidang kependidikan merupakan profesi yang menuntut profesionalisme penuh dalam bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Sanusi Uwes (2003:149) menyatakan ada tiga bidang yang harus dikuasai oleh seorang guru yang professional dalam menjalani profesinya, yaitu: (1) ahli dalam bidang pengajaran, (2) terampil dalam bidang penelitian, dan (3) memiliki kompetensi dalam pengabdian kepada masyarakat. Selain dari tiga bidang tersebut, seorang guru juga harus memiliki kemampuan dalam memberikan bimbingan kepada siswa, dan melaksanakan tugas administrative lainnya.
Timbulnya maksud tersebut antara lain terungkap dari harapan masyarakat agar semua tenaga kependidikan meningkatkan kemampuan-nya melalui pemberian pelayanan tugas pengajaran dan tugas-tugas lainnya secara lebih professional.
Menurut pendapat para ahli, ada hal yang membedakan antara pekerjaan biasa (okupasi) dengan pekerjaan yang menuntut kemampuan professional penuh. Perbedaan tersebut terletak pada beberapa karakteristik, diantaranya adalah kepemilikan: kompetensi, sertifikasi, akreditasi, dan lisensi. Dengan adanya beberapa syarat seperti tersebut di atas, maka seorang sarjana pendidikan (S.Pd) yang lulusan dari Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK), belum tentu dapat menjadi guru bila tidak memiliki persyaratan tersebut.
Jenis-jenis profesi kependidikan menuntut pelayanan yang ditujukan kepada orang lain. Pendekatan kategori setiap profesi tidak menunjukkan perbedaan unsur-unsur atau beberapa elemen yang memerlukan pelayanan, tetapi menunjukkan pada sifat dan hakikat dari pelayanan (Arikunto, 1990:234).
Tampubolon (2001:174) menyatakan peran guru bersifat multi dimensional, dimana guru menduduki peran sebagai: (a) orang tua, (b) pendidik atau pengajar, (c) pemimpin atau manajer, (d) produsen atau pelayanan, (e) pembimbing atau fasilitator, (f) motivator atau stimulator, dan (g) peneliti atau nara sumber. Peran tersebut dapat bergradasi menurun, naik, atau tetap sesuai dengan jenjang tuntutannya.
Sejalan dengan menguatnya tuntutan derajat keprofesionalan dalam segala aspek kehidupan, pekerjaan, dan jabatan; para pemangku jabatan dan pekerjaan tersebut sibuk melakukan gerakan peningkatan kemampuan mereka pada masing-masing bidang profesi.
Pekerjaan yang sudah menjadi sebuah profesi menuntut kinerja yang professional dari setiap orang yang menekuninya. Termasuk dalam hal ini pekerjaan guru, karena guru merupakan sebuah profesi. Sutisna (1989) menyebutkan bahwa pekerjaan guru mulai diperhitung-kan sebagai salah satu profesi, sehingga orang-orang yang menekuni profesi ini dituntut memiliki kemampuan professional.
Guru selaku tenaga professional memiliki citra yang baik di masyarakat. Apabila seorang guru dapat menunjukkan citra kepada masyarakat, maka ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada siswanya, dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas (Soetjipto & Raflis Kosasi, (1999:42). Sehingga menyandang predikat guru tidak hanya dituntut memiliki kemampuan intelektual saja, tetapi juga diperlukan kepribadian yang matang yang dapat diteladani oleh banyak orang.


DAFTAR PUSTAKA

Sudjana, Nana. 2004. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Usman, Moch Uzer (1993). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya
Ali, Muhammad. (2002). Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Depdiknas. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonedia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdknas.
————. (2004). Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003-2010 (HELTS). Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

————. (2003). Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Glover, Derek. & Sue Law. (2005). Improving Learning Profesional Practice in Secondary Schools. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hasan, Ani M., (2003). Perkembangan Profesonalitas Guru di Abad Pengetathuan. (online). Tersedia: http://www.jurnal+pendidikan. com. (5 Juli 2005).

Isjoni. (2004). Kinerja Guru. (online). Tersedia: Artikel Pendidikan Network. Http://artikel.us/isjoni12.html. (8 Februari 2005).

Joni, T. Raka (1981). Pembinaan Staf Akademik Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Permasalahan, dan Pendekatan. Jakarta: P3G Depdikbud.
Kartadinata, Sunaryo. (2005). Sertifikasi Jabatan Profesi Guru. (Makalah). Bandung: UPI Bandung.

Kydd, Lesley. et.al. (ed). (2004). Profesional Development for Educational Management. (terjemahan). Jakarta: Grasindo.

Makmun, Abin Syamsuddin. (1996). Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan. (Pedoman dan Intisari Perkuliahan – Handout). Bandung: PPs UPI Bandung.

Sanusi, Ahmad. et.al. (1991). Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan. Jakarta: Depsikbud.
Sudjana, Rahmat. (1999). Konflik Internal dan Ekternal Profesionalisasi Jabatan Kependidikan. Formasi: Journal Kajian Manajemen Pendidikan No. 1 Tahun I, September 1999.

Surya, Mohammad. (2005). Perlindungan Profesi Guru: Kode Etik dan Undang-undang Guru. (Makalah). Bandung: UPI Bandung.

Supriyadi, Dedi. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Sutisna, Oteng. (1991). Studi Pengembangan Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan. Bandung: Angkasa.

Soetjipto & Raflis Kosasi. (1999). Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.
Usman, Moh. Uzer. (2001). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.